Amel tampak senang sekali, sepulang sekolah Faisal sudah menunggunya di depan gerbang. Walau Amel tahu ayahnya datang bukan untuk pulang, tapi Amel tetap gembira karena bisa menghabiskan waktu lagi bersama ayahnya.
Amel sudah mengabari Desi akan pulang telat, kali ini tak ada bumbu kebohongan. Amel terang-terangan mengatakan pada Desi bahwa Faisal akan datang menjemput untuk mengajaknya jalan-jalan ke Mal. Desi mengiyakan itu, ia pun cukup menerima kalau memang hanya sebatas itu yang Faisal sanggupi. Setidaknya Faisal masih ada waktu untuk menengok putrinya.
“Kamu bawa pesanan Papa kan, Mel? Tanya Faisal pada putrinya, sambil mereka menunggu pesanan sate ayam mereka datang.
Amel mengangguk yakin. Ia ambil ranselnya dari kursi di sebelah. Dengan cepat gadis itu membuka resleting tasnya, lalu mengeluarkan dua buku kecil yang dia selipkan di buku tulis dan segera memberikannya kepada Faisal. “Emang Papa butuh buku nikah buat apa, sih?” tanya Amel yang samar-samar mendapati wajah puas Faisal.
“Oh – ini, ya …, buat data di kantor aja.”
Amel manggut-manggut polos.
“Gimana selama Papa enggak ada di rumah, Mel?” Faisal beralih pertanyaan sambil mengamankan buku nikahnya bersama Desi ke dalam ransel hitam yang dia bawa.
“Sepi,” singkat Amel yang membuat Faisal tersenyum. “Lebih seru ada Papa. Enggak enak berdua Mama aja. Amel enggak ada yang belain kalo lagi diomelin Mama.” Amel menghela nafasnya. Di lain sisi Faisal pun hanya bisa diam, menyimak dalam-dalam ekspresi Amel yang mulai menunjukkan kegusarannya.
“Kenapa sih Papa enggak pulang aja?”
“Mel …, Papa kan udah bilang sama Amel. Kalau Papa pulang ke rumah, nanti yang ada Papa sama Mama ribut terus. Papa enggak mau nantinya mental Amel jadi sakit gara-gara ngeliat Papa sama Mama berantem tiap hari.”
Giliran Amel yang kini hening. Mau nangis sebetulnya, tetapi ia tahan-tahan saja, karena Amel sudsh mewanti-wanti dirinya kalau pertemuannya dengan Faisal kali ini tidak boleh ada air mata.
Memang, kalau ditanya seperti itu juga Amel tidak mau terus-terusan menonton orangtuanya bertengkar. Walau ia terbiasa melihat mereka ribut dari kecil, walau ia sekarang sudah terkesan cuek bila perkelahian itu sedang terjadi, tetap saja itu melelahkan. Apa enaknya jika ketentraman tidak ia dapatkan. Namun Amel masih bertanya-tanya, apakah ketentraman hanya bisa didapat dengan berpisah?
“Mungkin sementara waktu iya, Des. kondisi pisah kayak gini emang lagi harus lo jalanin dulu biar hati ngerasa tentram. Kalo hati udah tentram, kan jadi bisa mikir terang. Nanti kalau pikiran lu sama Faisal terutama, udah sama-sama tenang, baru deh kalian omongin lagi. Gue yakin kok, lu sama Faisal bakal baikan kayak dulu.”