“Apa ini, Mel? Apa?! Dari mana kamu bisa dapat akta kayak gini?!”
Kecepatan menguasai detak jantung Amel. Setiba di rumah dari pesta Nanda, gadis itu sepertinya masih harus ditakdirkan menghadapi kejutan lagi. Kejutan yang sangat mengobrak-abrik perasaannya.
“Ma – Ma? –“ sulit untuk Amel melanjutkan kalimatnya. Hal yang berusaha ia tutupi pada Desi rapat-rapat entah sampai kapan hingga ia siap menyerahkan, akhirnya terbongkar sudah sebelum waktunya.
Akta cerai Desi dan Faisal.
“Jawab Mama, Amel!”
“Amel dapat itu dari Papa, Mah.” Suara Amel terdengar bergetar ketakutan. “Minggu lalu Papa ke sekolah, terus kasih itu ke Amel.”
“Gimana bisa akta ini, jadi?! Mama enggak pernah dapat panggilan apa-apa dari pengadilan."
Amel baru terpikir hal yang sama sekarang. “Amel juga enggak ngerti, Ma.”
Desi berpikir keras, sejauh yang dia tahu syarat akta ini dapat dibuat adalah menyediakan buku nikah. “Jujur, Amel. Apa kamu yang udah kasih buku nikah Mama ke Papa?” Sorot mata Desi mencengkram Amel kuat. Tak sedikit pun membiarkan gadis itu lolos.
Amel terlihat seperti sedang mengingat sesuatu. Pertanyaan itu membuatnya baru sadar sekarang, bahwa menuruti permintaan Faisal itulah yang membuat akta cerai itu sampai di tangannya kini.
Betapa syoknya Amel, air matanya mendadak menggenang. Berat ia mengakui tapi tak mungkin bisa lari. “I - iya, Ma. Bulan lalu Papa ke sekolah, minta Amel bawain buku nikah ini buat dikasih ke Papa.”
“Keterlaluan kamu, Amel! Lancang, kamu!” Desi melempar kertas-kertas ditangannya sembarangan.
Tertusuk rasanya hati Amel mendengar hardikan Desi. Terpukul hebat menghadapi kenyataan yang ada, mengetahui bahwa ialah yang tanpa sengaja justru menjadi penyebab perceraian ayah dan ibunya.
"Amel betul-betul enggak tau, Ma ..." Terisak-isak Amel, hatinya dipenuhi rasa bersalah.
"Harusnya kamu tanya dulu ke Mama! Kenapa kamu nggak tanya?!"
"Amel pikir itu cuma sekedar kebutuhan buat data di kantor Papa."
"Kelewatan kamu Amel, kelewatan! Gara-gara kamu akta ini ada. Sengaja kamu mau pisahin Mama sama Papa?!"