Saat tiba di rumah, Desi cukup terkejut mendapati Laila dan Puji telah menunggu. Rupanya Desi lupa sendiri saking fokus pada masalah pernikahannya, kalau mereka memang sudah janjian di tanggal dan hari itu untuk kumpul di sana.
“Maaf, gue lupa,” ucap Desi dengan sisa-sisa suara sengaunya selepas menangis panjang. Tangannya sibuk berusaha merogoh tas untuk mengambil kunci rumah. Cukup peka sebetulnya Laila dan Puji, saling memberi lirikan menjadi tanda bahwa mereka tahu Desi sedang tidak baik-baik saja.
“Enggak pa-pa, udah kita duga he he he. Untung masih ketemu. Tadinya setengah jam lagi lo enggak dateng kita mau balik,” sahut Laila mencoba mencairkan suasana. Akan tetapi yang ia dapat hanya senyum tipis Desi.
Pintu rumah terbuka. Desi mempersilakan kedua temannya masuk lalu membiarkan mereka duduk di kursi ruang tamu. Bergegas Desi mengambil air minum dari dalam kulkas. Ia merasa beruntung masih ada stok minuman kemasan sehingga tak perlu repot membuat teh dan memecah es batunya. Pikirannya membuatnya malas untuk mengerjakan sesuatu. Kebetulan juga masih ada sekotak brownies dan buah mangga, semua Desi keluarkan untuk dihidangkan pada kedua temannya.
“Enggak usah repot-repot, Des.” Puji jadi merasa tak enak hati. Ini kedatangan pertamanya mengunjungi rumah Desi, beda dengan Laila yang terkesan lebih santai karena sudah terbiasa mengunjungi tempat tinggal wanita itu, baik yang di kontrakan sekarang maupun sewaktu Desi masih menempati rumahnya sendiri dulu. Kalau masih di satu kota Laila tak pernah keberatan mampir.
“Biar gue aja Des, yang kupas mangganya.” Dengan inisiatifnya Laila mengambil pisau dan sebuah mangga dari tangan Desi. Desi yang baru duduk langsung setuju, memang itu sangat membantunya. Segera ia mendekatkan sebuah piring dengan tiga garpu untuk menampung mangga pada Laila agar bisa dimakan bersama.
“Aku bawain kamu kue, Des. Bikinan aku sendiri.” Puji baru menyerahkannya. Ada sekotak bolu tape yang ia berikan. Laila juga sudah dikasih.
“Makasih, ya,” ucap Desi sambil menerimanya dan meletakkan di pangkuan. “Amel paling suka loh, sama Bolu Tape.”
“Oh ya, kebetulan banget.”
“Lu lemes amat, Des. Kenapa sih lu?” Laila yang sudah tak tahan melihat kelesuan temannya akhirnya bertanya. “Soal Faisal lagi? Cerita aja Des, biar lega.”
Dikasih peluang begitu dengan orang terdekatnya jelas Desi langsung meleleh. Bibirnya bergetar, air matanya langsung merembes keluar. Tanpa ada yang ditutup-tutupi Desi, ia ceritakan apa yang terjadi dan kemana ia pergi tadi sampai-sampai melupakan janji mereka. Desi juga mengakui, bahwa akhirnya ia membalas kesombongan iparnya dengan membongkar pernikahan diam-diam suaminya.
“Bagus, Des! Itu bagus,” Laila yang terbawa emosi mendukung pembalasan Desi. Bicara sampai tangannya ikut-ikutan bergerak saking ekspresifnya. “Biar tau rasa mereka! Nanti lo usaha lagi buat temuin Faisal, kalo perlu lo temuin juga istri barunya, biar gue bantu lo buat ngelabrak!”
Puji menyentuh lembut lengan Laila di sampingnya. Memberi sinyal agar Laila tenang dan tidak ikut-ikutan sewot, apa lagi dia sedang memegang pisau, bahaya kan kalau sampai meleset.
“Gue bukan istri yang sempurna emang,” Desi tertunduk lesu menangis tersedu-sedu. “Tanpa gue sadarin, gue udah bikin Faisal enggak nyaman. Gue salah. Iya, gue salah karna kurang menghargai usaha suami gue. Tapi kenapa balasan dia ke gue sesakit ini, La? Kenapa harus pengkhianatan yang gue terima, Ji? Kenapa dia enggak ngelepas gue dengan baik seperti di awal dia nikahin gue? Terlalu cepet Faisal cari pengganti gue. Apa ini adil buat gue?”
"Ya enggak adil!" timpal Laila lagi-lagi penuh kesal.
Puji bangkit berdiri untuk duduk di tepi kursi yang Desi duduki. Rangkulan hangatnya ia berikan pada Desi agar sedikit saja perasaan Desi menjadi lebih baik.
"Kenapa suami gue jahat, Ji? Padahal gue sama sekali enggak pernah berniat jahatin dia."
"Des ..., sabar, ya" Puji betul-betul bingung mau bilang apa? Menyarankan sabarpun sebetulnya sulit buatnya karena ia pikir, jika dirinya sendiri yang merasakan langsung pun belum tentu juga ia sanggup sabar. Namun apa lagi kata ketenangan yang lebih baik untuk diberikan pada teman yang sedang merasa terpuruk? Puji ingin diajarkan jika itu ada.
"Gue enggak ngerti, kenapa pernikahan gue bisa begini? Kenapa nasib enggak adil bisa gue terima?"
Laila menghela nafas panjang. Makin iba saja dia melihat Desi. Ia pun lantas melepas pisau dan buah mangga yang di tangannya lalu buru-buru mengelap tangan dengan tisu. Tubuhnya beranjak, mendekat berlutut di depan Desi hingga genggaman hangatnya sampai di tangan sahabatnya itu. “Lo tau nggak, Des? Anehnya, yang kita pikir enggak adil buat kita, justru itu yang bisa bikin kita jadi kuat.”