“Sabar ya, Mel. Kata Om Dito sebentar lagi Papa kamu datang.”
Amel hanya diam mengangguk kecil mendengar ucapan Laila yang sempat ia lihat berdiskusi pelan dengan dengan suaminya.
Sudah berjam-jam lamanya Amel yang ditemani wanita itu beserta suaminya dan juga Puji menunggu di depan ruang operasi. Air mata sudah mengering namun jantung yang berdetak masih saja belum tenang.
Amel terlihat kepayahan, tangannya yang masih sedikit bernoda dengan darah mengering agak gemetar. Wajahnya pucat dan lelah. Puji, Dito, atau Laila sama-sama tak tega melihat anak itu, tapi mereka tak punya cara untuk mengangkat kegelisahan Amel sepenuhnya. Apalagi Amel adalah buah hati Desi, tentu tekanan cemas yang ia rasa saat itu jauh lebih berat. Sulit bagi mereka membantu, sekedar meyarankan untuk tenang saja jelas tak cukup. Apalagi mereka sendiri juga tak kalah gelisah dan membutuhkan asupan ketenangan.
“Mah, jangan tinggalin Amel, Mah. Amel belum minta maaf sama Mama,” Amel memohon di dalam hatinya. Berlanjut menikmati menit demi menit penuh pengharapan agar Desi selamat.
“Mel,” selang beberapa waktu panggilan Laila yang duduk disamping Amel menarik hening gadis itu. Didapatinya mata Laila yang tampak memperhatikan sesuatu.
“Papa kamu, Mel.” Laila menunjuk dengan gerak kepalanya. Spontan Amel pun menoleh untuk menemukan apa yang Laila katakan.
“Papa.” Amel bangkit berdiri. Sosok yang ditunggunya akhirnya datang berjalan mendekat. Baru melihat Faisal dari kejauhan saja air mata Amel sudah kembali meleleh. Bergegas gadis itu berlari turut menghampiri, dan langsung memeluk ayahnya kuat.
Faisal merasakan pelukan erat itu. Pelukan yang membawa ketakutan dan kesedihan besar dari hati putri tunggalnya.
“Pah. Mama, Pa,” ucap pelan Amel di dalam dekapan Faisal.
“Iya, Mel. Papa tau.”
“Om Hamdan jahat, Pa. dia orang jahat. Dia udah lukain Mama.” untuk kesekian kalinya pecah tangisan Amel. Itu membuat hati Faisal perih. Ayah mana yang ingin melihat anaknya dilindas kesedihan begitu? Faisal juga sangat kecewa pada perbuatan adiknya sendiri. Bisa-bisanya ia berbuat keji pada ibu yang melahirkan anaknya. Tanpa sadar Setitik air mata Faisal jatuh, menyesali keadaan keluarganya yang berantakan.
“Rasanya baru kemarin kita jalan-jalan ke puncak bareng mereka ya, Mas. Tapi sekarang malah keadaannya jadi begini,” bisik Laila pada Dito. Mengamati pertemuan Amel dan Faisal rupanya berhasil membuat hatinya terenyuh dan ikut menitikkan air mata.
Pintu ruang operasi berdecit terbuka. Kehadiran seorang dokter yang keluar dari sana menjeda resah sedih Amel dan Faisal. Ayah dan anak itu buru-buru mendekati dokter menyusul Laila, Dito, dan Puji yang lebih dulu sampai padanya.
Beruntungnya dokter itu membawa kabar baik. Desi telah melewati masa kritisnya, pendarahan sudah berhasil dihentikan, luka sudah dijahit dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan telah dilaksanakan dan berjalan dengan lancar. Walau sempat ia memberitahukan hal buruk bahwa sedikit saja meleset, tusukan itu dapat mengenai organ vital Desi. Jika sudah begitu, besar kemungkinan nyawa Desi tak tertolong.