Desi sudah sadar sepenuhnya dan sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Setiap hari perkembangan atas tubuhnya ia rasakan. Meski nyeri luka masih sesekali melanda, namun kondisinya tetap jauh lebih baik.
Banyak orang-orang di sekitarnya datang menjenguk Desi. Dari teman hingga keluarga memberi dukungan untuknya agar bisa bangkit lagi. Kalau soal merawat, ada Laila, Amel, dan Faisal yang paling berperan. Sepulang sekolah Amel dipastikan langsung ke rumah sakit. Kalau Laila jika urusan rumah sudah selesai akan langsung mengunjungi. Untunglah Dito tak keberatan setengah fokus istrinya sedang tertuju pada Desi untuk sementara waktu. Sementara Faisal rela menginap sepulang kerja lalu paginya berangkat lagi dari rumah sakit ke kantor.
Tindakan Faisal yang sampai menginap demi untuk merawat Desi membuat Amel untuk pertama kalinya lagi merasa keluarganya utuh. Ia tak bermaksud senang ibunya terluka, tapi dengan kejadian itu rupanya ada kebahagiaan yang ia rasa. Amel bisa melihat masih ada cinta di hati ayahnya untuk ibunya. Pria itu begitu telaten menjaga.
“Pajangan beruangnya masih di rumah gue loh, Mel. Kapan lo mau gue bawa’in ke sekolah?” tukas Putri saat menunggu jemputannya datang di gerbang sekolah. Masih ingat ia betapa terburu-burunya Amel waktu itu sampai meninggalkan kado untuk ayahnya di bawah meja food court.
“Ha ha ha. Buat lo aja, deh. Gue udah enggak butuh.”
Mata Putri membelalak. “Serius lo? Apa …, itu tandanya bokap sama nyokap lo udah baikan?”
Amel senyum-senyum. “Doain ya, bentar lagi gol nih!”
“Ha ha ha. Lu kira tanding bola! Iya deh …, gue doain bokap nyokap lo bisa balikan kayak dulu lagi. Nanti udah gol harus traktir gue, ya? Pokoknya lo mesti adain selametan.”
“He he he. Iya, iya. Ya udah ah, gue duluan, ya. Dah ...”
"Eh, kok jalan?! Nggak naik angkot?!"
"Pingin ke Anyelir dulu!"
Pulang sekolah hari itu, Amel sengaja mampir ke sebuah toko bunga yang tak jauh dari sekolah. Toko Bunga Anyelir namanya. Sudah beberapa kali ia mampir ke sana tapi hanya untuk melihat-lihat saja. Akan tetapi untuk yang kali ini, Amel sedang berniat untuk membeli.
Mawar putih, itu yang Amel tahu adalah bunga kesukaan ibunya. Karena uang sakunya terbatas, jadi hanya setangkai yang bisa ia bayar. Tanpa sedikitpun kecewa, Amel berharap setangkai bunga itu bisa mengganti kenangan buruk yang telah ia berikan pada ibunya. Membuat ibunya tersenyum, dan mampu memaafkan kesalahannya walau baru sedikit saja.
“Jadi kamu harus balik ke Batam, Ji?” di rumah sakit Puji datang kesekian kali untuk melihat keadaan Desi. Namun kali itu, ia tidak sekedar menengok, melainkan juga untuk pamit karena pekerjaannya di Bogor sudah selesai.
Berasa kehilangan sekali, baik Desi maupun Laila yang juga sedang ada bersama mereka. Tapi ya mau bagaimana lagi, tugas baru Puji di Batam sudah menunggu. Ia sudah tak bisa berlama-lama di Bogor. Mereka berharap, suatu saat bisa dapat berkumpul lagi. Bahkan Puji juga berkata bahwa ia ingin sekali kapan-kapan Desi dan Laila yang justru mampir ke Batam.
“Jangan-jangan kita ketemu lagi pas kamu nikah, Ji. Jadi aku sama Laila ke Batam sekalian kondangan,” canda Desi yang membuat Puji tertawa dan Laila ikut girang mengiyakan.
“Amin aja deh, aku.”
Laila yang duduk di tepi ranjang Desi hampir berhadapan dengan Puji yang duduk di kursi menyahut, “Padahal baru aja, gue mau ngajakin Puji ke Pak Haji. Eh, udah mau pulang orangnya.”
Tawa Puji berubah, “Pak Haji?” mukanya tampak bingung.
“Iya …, Pak Haji pelancar jodoh.”
“Oh …” kini Puji mengerti maksud Laila. Eh, tapi Puji merasa ada yang perlu disampaikan pada temannya itu. “Sorry Laila, tapi aku enggak tertarik buat ketemu Pak Haji.”
“Oh, enggak mau, ya. Kenapa emang? Karna enggak percaya gitu-gituan, ya? Kekuatan doa kayak gitu beneran ada loh, manjur!” semangat Puji.
“Wajar aja lah, Puji kan sekolahnya tinggi,” sambung Desi.
Puji buru-buru menggeleng sambil tersenyum. “Engga, bukan gitu. Bos aku lulusan luar negeri pun percaya kok sama kekuatan mistik. Malah dia langganan dukun.”