Rumah yang Tak sempurna

Yulian Juli
Chapter #38

38. Kembali Ke Asal

Amel kehilangan jejak Faisal ketika ia keluar dari kamar. Oleh karena itu, ia pun akhirnya menaiki lift dan turun menuju lobi utama rumah sakit, dengan masih berharap dapat berjumpa Faisal di sana agar map di tangannya bisa sampai pada yang punya. 

Benar saja, sekeluarnya Amel dari lift samar-samar ia melihat punggung Faisal di kejauhan, sedang berjalan ke luar gedung di tengah pengunjung rumah sakit yang lalu lalang. Kemeja biru, ya, Amel ingat apa yang dipakai ayahnya. Jangankan pakaian, melihat postur tubuh dan cara berjalannnya saja Amel hafal.

Tidak ingin berteriak memanggil yang hanya memunculkan perhatian orang, Amel lebih memilih setengah berlari untuk mengejar Faisal yang ia lihat tak kalah terburu-buru berjalan. Amel yakin ayahnya akan menuju gerbang mencari angkutan umum untuk mengantarnya ke stasiun. Namun beberapa saat mengejar akhirnya Amel melihat Faisal berhenti saat melawati area parkiran depan, karena seorang wanita di belakang ayahnya itu telah menarik keras tangannya seakan sengaja meminta Faisal berbalik untuk bicara. Mengejutkan bagi Amel tapi tak mengejutkan bagi Faisal. Mereka terlihat lancar bicara berdua tetapi Amel lihat seperti ada emosi kemarahan di sana. Membuat Amel baru mengerti bahwa sejak tadi rupanya ayahnya tak berjalan sendiri.

“Jawab aku, Bang! Apa emang kamu mau balikan lagi sama Desi?!”

“Ck! Rin! Kita bisa bahas ini di rumah.”

“Enggak! Kita harus bahas ini sekarang juga!”

“Kamu tuh – ugh! Iya, iya! Abang pingin rujuk lagi sama Desi.”

“Bang! Keterlaluan kamu! Kamu mau ngeduain aku sama dia?!”

“Rin, dengerin Abang! Abang enggak ada pilihan lain. Kalau Desi enggak mau damai, Hamdan bisa lama di penjara. Biar gimanapun dia adek Abang! Abang harus bantuin dia. Lagian kalo Hamdan lama dipenjara, gimana bisa Hamdan lunasin hutangnya ke Abang? Dia bayarin rumah Abang yang di Bogor, itu juga setengahnya aja belum sampai."

“Kan ada istrinya!”

“Dia lepas tangan enggak sanggup!”

“Ya – ya tapi kenapa pake rujuk sama Desi segala, Bang?! Kebaikan Abang selama ini rawat dia sampe enggak pulang-pulang itu udah cukup.

“Belum cukup, Rin! Abang harus bisa kasih apa yang Desi mau. Abang yakin dia masih mau Abang pulang. Jadi Abang harus ambil hatinya.”

“Emang aja Abang masih sayang sama dia! Ini kesempatan kan buat Abang!”

“Rin! – “ “Pah!”

Suara panggilan yang tak asing terdengar di telinga Faisal membuat lelaki itu menoleh, menjeda perdebatan dengan wanita di depannya.

Alangkah terkejutnya Faisal, tercengang melihat Amel telah berdiri di dekatnya. Sudah mampu Faisal yakini pula, bahwa Amel pastilah mendengar semua kalimat yang keluar dari mulutnya. Akh! Faisal jadi bingung harus bagaimana sekarang?

Amel berjalan semakin mendekati Faisal. Dengan santai ia menyodorkan map biru kepada ayahnya. “Map Papa ketinggalan,” ucap Amel singkat dengan ekspresi dingin.

Faisal menerima itu, dan di dalam hatinya menyesali mengapa map itu sampai bisa ketinggalan. Kalau tidak kan suasananya tidak perlu sekusut ini.

“Mel, Papa –“ “Amel balik dulu, Pa.”

Kalimat Faisal yang disela oleh Amel sejujurnya membuat Faisal kecewa. Apalagi Amel pergi begitu saja dengan muka judes menunjukkan bahwa gadis itu marah dan tak mau mendengar apapun perkataan darinya. Kini Faisal membeku sendiri, menelan kebingungan seraya menyimak langkah putrinya yang semakin lama semakin menjauh.

Tanpa Faisal tahu, bahwa setelahnya Amel memilih bersembunyi. Sendirian menangis sesenggukan menikmati rasa kecewa. Rasa kecewa terhadap ayahnya, dan rasa kecewa terhadap dirinya sendiri.

Ya, Amel kecewa terhadap dirinya sendiri karena merasa sudah bersikap bodoh. Hanya karena melihat Faisal sudah berbelas kasih pada Desi, ia menganggap cinta ayahnya telah kembali.

Amel lupa bahwa ayahnya sudah berubah, pria itu bukan lagi menjadi sosok yang mencintai ibunya. Tak ada tempat untuk ibunya lagi di hati ayahnya, sampai-sampai enggan sedikitpun memberi pembelaan dan justru ingin melindungi yang keliru hanya untuk kepentingan-kepentingan yang salah satunya adalah kepentingannya sendiri. Dan Amel juga lupa, kecewa begitu keras. Bahwa ayahnya telah menjadi milik orang lain.

Dua perempuan itu, baik Desi dan Amel kini berada dalam dekapan yang sama, yakni takdir kesedihan yang harus diterima. Sendu seakan menggaduh, kecewa mengacak-acak rasa. Mereka tak tahu harus membawa harapan kemana? Pada manusia siapa? Tak ada yang mampu menjadi wadah gundah gulana mereka.

Hingga lelah tangis membawa meraka pada satu nama, yang mereka sadari, dariNya berasal dan kepadaNya kembali.

Di atas ranjang pemulihan tubuhnya Desi berdoa, di dalam heningnya rumah Tuhan dengan balutan mukena putih Amel bersujud berserah. Mengharap pada Sang Penguasa Semesta, agar berkenan mengeluarkan mereka dari labirin masalah, yang sudah lama menipu mereka dengan pintu-pintu jalan buntu, berliku, dan menyesatkan.

Lihat selengkapnya