“Amel sebenernya mau ngomong apa, Sayang?”
Hari itu Desi merasa aneh dengan Amel, gemas juga, tadi katanya mau bicara tapi setelah ditunggui malah diam saja. Seperti akan mengatakan hal berat. Sudah dua kali sikapnya maju mundur begitu.
"Mel ...?"
“Um – mah. Mm …, gimana …, kalau kita berdua pindah ke Batam?”
Akhirnya apa yang ingin dikatakan Amel tersampaikan juga. Alangkah terkejutnya Desi, terbengong-bengong mendengar keinginan putrinya. Bisa-bisanya Amel terpikir untuk pindah jauh.
“Amel pingin aja, Ma. Ninggalin kota ini terus mulai semuanya dari awal di tempat yang baru, tempat yang Amel sama sekali enggak pernah tahu sebelumnya.”
“Kamu serius, Mel?” selidik Desi yang duduk di ranjangnya bersama Amel. “Kamu mau ninggalin Papa?”
Amel mengangguk. “Papa kan udah ada istrinya, Ma.”
Lagi-lagi Desi terkejut. “Kamu tau soal pernikahan Papa?!”
Meski berat namun Amel akhirnya mau bercerita pada Desi lebih rinci, bahwa ia sudah tahu pernikahan yang disembunyikan oleh Faisal. Bahkan Amel mengaku sempat bertemu wanita yang kini menjadi istri ayahnya itu. Amel juga berkata, kalau ia mendengar tanpa sengaja tentang permintaan Faisal soal Hamdan.
Wajah Desi berubah memelas mendengar pengakuan Amel. Ia tahu sekali jika Amel pastinya terluka oleh apa yang sudah ia ketahui. Seharusnya Amel fokus memikirkan pelajaran saja, bukan ikut terbawa arus dalam masalah ini.
Desi juga jadi ingat lagi, bagaimana saat itu Faisal mengajaknya kembali dan memulai semuanya dari awal, namun ia juga memohon agar Hamdan bisa dibebaskan. Bahagia bercampur Sedih Desi mendengar permintaan Faisal, sampai ia terombang-ambing keputusan apa yang harus ia ambil.
"Des, aku sungguh-sungguh. Aku mau kita balikan lagi kayak dulu. Kita lupain semua yang udah terjadi, kita mulai lagi lembaran baru. Kamu, aku, Amel. Tapi aku minta tolong, bebasin Hamdan. Dia sedang khilaf waktu itu. Dia betul-betul ngerasa bersalah dan pingin banget ketemu kamu buat minta maaf."
"Mah? gimana?" panggilan Amel membuyar lamunan Desi. "Kok Mama bengong?"
Desi tersenyum tipis, lalu dengan lembut ia menarik tangan putrinya, menggenggam lemah dengan kedua tangan yang sebelah kanannya masih terinfus. “Menurut Amel gimana? Apa Mama harus damai sama –“ “Enggak, Mah! Amel enggak setuju Mama damai sama Om Hamdan!” tegas Amel menyela ucapan ibunya. “Om Hamdan harus bertanggung jawab! Kalo Mama biarin Om Hamdan bebas, itu sama aja Mama bikin Amel takut setiap hari kalau-kalau Om Hamdan bakal datang lagi ke Mama dengan niat buruk. Amel enggak mau, Ma!”
“Hm ... meskipun Papa bakal kecewa?”
“Dan enggak pulang lagi kan maksud Mama?”
Entah sudah berapa kali Desi dibuat Amel kaget. Betul-betul tak sangka ia, putrinya menunjukkan bahwa ia tahu segalanya.
“Buat apa, Mah? Kalau Papa pulang tapi hatinya udah jadi milik orang lain? Itu bukan Papa, tapi hanya raganya Papa." Kedua mata Amel mulai ingin menangis lagi. "Kita mulai hidup baru aja yuk, Ma. Tapi berdua – tanpa Papa.”
Melihat anaknya menangis Desi pun tak kuasa mencegah air matanya. Ia bisa menangkap kesedihan bercampur kecewa dari putrinya, sehingga anak itu seakan-akan ingin lari, meninggalkan segala keriuhan yang terjadi di sini. Namun Desi juga bisa menangkap, bahwa Amel tak sekedar mengajaknya lari dengan tangan kosong, melainkan membawa sebekal harapan bahwa di sana akan menjadi permulaan yang indah.