Rumah yang Tak sempurna

Yulian Juli
Chapter #40

40. Berbahagialah, Pah.

10 tahun kemudian.

“Bener di sini alamatnya?” pengemudi sedan hitam yang bermata sipit dan berkulit putih itu bertanya pada perempuan di sebelah ia duduk. Lelaki itu telah memberhentikan mobil miliknya, tepat di depan sebuah rumah sederhana dengan tembok berwarna hijau.

“Dari informasi yang Tante Laila kasih sih, betul Kak.” Perempuan di sebelahnya menjawab sambil sibuk mengamati rumah di depannya. Perempuan dengan rambut ikal dan modelnya hampir menyerupai brokoli terbalik.

Secara kebetulan seorang pria paruh baya keluar tiba-tiba dari dalam rumah. Tubuhnya terlihat kurus, rambutnya memutih setengah botak, hanya sekedar memakai kaos belel dan celana pendek.

Degup jantung wanita muda itu mendadak cepat. Walau wajah pria itu terlihat menua, ia tetap sangat bisa dikenali. Pelan-pelan ia turun dari mobil, tanpa kata lagi membiarkan pria muda disebelahnya tertinggal.

Dalam ragu wanita itu berjalan mendekati pria tua yang dilihatnya sedang sibuk mengurus tanaman di depan. Berhati-hati ia memastikan benarkah pria itu betul-betul orang yang ia tuju? Terdengar suara pintu mobil di belakang terbuka untuk kedua kalinya, sang pengemudi sedan rupanya menyusul usai mematikan mesin mobil, hendak mendampingi wanitanya untuk bertemu sang ayah yang sudah sangat lama tidak ditemui.

“Assalamualaikum, Papah?”

Suara lembut itu langsung menggetarkan hati pria berambut putih. Panggilan yang terdengar tak asing, namun sangat ia rindukan. Pelan namun pasti ia menoleh, matanya sempat menyipit ingin tahu lebih jelas siapa yang berkata begitu? Dan tak butuh waktu lama untuk mengembalikan memorinya usai ia melihat dengan pasti seorang perempuan muda dengan rambut khas tersenyum manis persis seperti wanita yang pernah ia cintai.

“Desi?” pria itu berkata pelan namun bukan berarti tak mengejutkan orang di depannya. Walau keliru, tapi setidaknya wanita itu tahu kalau ia tidak salah orang dan senang akhirnya usahanya mencari berhasil.

“Bukan Pah, ini Amel. Anak Papa dan Mama Desi.”

Membulat mata pria itu. Berjalan mendekat, sebegitu cepat berkaca-kaca matanya mendapati apa yang ia rindukan telah datang. “Amel?”

“Iya, Pah. Ini Amel.”

“Ka – kamu datang, Mel?” Faisal menjatuhkan selang yang baru dipegangnya. Menghampiri Amel dan tanpa ragu menjatuhkan kedua tangannya di atas bahu perempuan itu. “Kamu betul-betul datang?”

Amel tersenyum lembut mengangguk. Refleks ia langsung memeluk ayahnya yang disambut dekapan hangat.

Faisal adalah pria itu, yang kini semakin menua dan tubuhnya tampak memendek dan jauh lebih kurus dari sebelumnya. Dalam balutan air mata ia melepas kerinduan pada putrinya. Sepuluh tahun bukan waktu yang sedikit untuk ia menahan kangen. Apa lagi ia masih ingat betul hari itu, dimana Amel mengucapkan kata perpisahan padanya hanya melalui sambungan telepon. Padahal Faisal sudah menyiapkan kado kelulusan untuknya. Bersiap ingin menemuinya bersama Airin agar mereka bisa berkenalan dalam situasi yang lebih baik.

Faisal sempat menentang kepergian Amel bersama ibunya. Ia tak bisa melepas mereka sejauh itu. Namun Amel kukuh meyakinkan bahwa ini adalah keputusan yang paling tepat. Tak ada tangis yang Faisal dengar dari ujung teleponnya bersama Amel saat itu. Ia merasa anaknya berbeda, tutur katanya menyakinkan bahwa ia bukan lagi bocah.

“Dimana Mama kamu Amel? Papa mau ngomong!”

“Papa cukup ngomong sama Amel aja, ya. Jangan bicara sama Mama lagi kalau yang mau Papa bahas cuma rasa keberatan Papa.”

“Amel, kalau memang ini mau kamu. Harusnya mama kamu bisa ngasih pengertian supaya kamu enggak pergi! Bukannya ikut ngedukung. Kamu masih butuh Papa, Amel.”

“Amel pergi bukan karena Amel enggak butuh Papa. Amel pergi, karena Amel mau bahagia berdua Mama. Papa udah ngelepas Amel sama Mama, jadi sekarang Amel sama Mama bebas mau pergi ke manapun."

"Amel! Papa hanya melepas Mama, bukan melepas kamu."

“Enggak ada bedanya buat Amel, Pah. Jadi biarin Amel dan Mama ngelanjutin hidup ya, Pa. Sama seperti papa yang juga ngelanjutin hidup dengan istri Papa yang sekarang. Amel enggak akan maksa Papa pulang lagi. Setelah Amel tau Papa udah punya keluarga baru, Amel udah ngelepas harapan Amel untuk bikin Papa dan Mama bersatu. Amel tahu Papa udah bahagia, kembaliin keadaan seperti dulu cuma akan nyakitin kita semua. Amel udah terima perpisahan kita, Pah.”

Lihat selengkapnya