Langit jingga perlahan digantikan cahaya bulan purnama. Hari itu bertepatan pada tanggal 16 Januari 1998. Moment yang begitu spesial untuk Rama dan Dania.
Malam itu juga, sepasang suami istri itu tengah berbahagia atas kelahiran anak pertamanya yang seperti anugerah terlahir kembar.
Mereka masih bisa dibilang keluarga yang mampu. Rama bekerja di sebuah perusahaan yang bercabang di Bandung dan memiliki pusat di Jakarta. Sedangkan Dania hanya seorang buruh jahit, namun hasilnya juga tidak kalah bagusnya dari yang biasa dijual di butik.
Kedua anaknya, mereka memberi nama Maura Deana dan Naura Diana. Namun tidak seperti bayi kembar lainnya yang sulit dibedakan, justru mereka memiliki perbedaan yang mencolok sehingga membuat seseorang dengan mudah mengenalinya.
Naura memiliki kulit yang putih, rambut bergelombang, dan lebih mirip dengan ibunya. Sedangkan Maura memiliki kulit yang sedikit gelap, rambut lurus seperti ayahnya.
Itulah sebabnya, mengapa nama mereka sedikit berbeda. Naura Diana berarti wanita cantik dan anggun. Sedangkan Maura Deana, berarti wanita berkulit gelap dan kuat.
Bahkan, jika diperhatikan dengan teliti, persamaan mereka hanya sedikit. Makanya banyak orang yang sering membandingkan.
Tentu saja perbedaan itu selalu menarik perhatian seseorang. Tidak ada yang tidak sakit hati jika selalu menjadi objek pembanding. Terlebih lagi ketika seringkali tetangga membandingkan Maura dengan Naura karena perbedaan fisik.
“Wah, kalau diperhatikan memang tidak mirip ya.”
“Iya, yang sama cuma hidungnya. Sama-sama mancung.”
“Naura benar-benar mewarisi kecantikan ibunya, ha ha ha.”
Seperti itulah tetangga, suka berkomentar tentang bayi kembar itu. Namun Maura yang masih kecil tidak begitu beduli, meskipun sedikit kecewa.
Banyak orang yang berharap mereka terlahir dengan saudara kembar. Namun, dari semua ekspektasi itu, mungkin hanya Maura yang berharap tidak pernah dilahirkan ke dunia, dan merasa jauh dari kata bahagia.
Seiring berjalannya waktu, mereka tumbuh besar dan menjadi anak yang cerdas dan ceria. Menginjak kelas satu SD, prestasi akademik Maura unggul satu angka dari Naura. Ia mendapat peringkat 1 dan Naura ke-2. Namun, ketika mereka naik kelas, justru Naura yang lebih unggul.
Meski seringkali hanya tertinggal dua angka, Maura sering dimarahi oleh ibunya. Sehingga Maura selalu takut untuk pulang jika nilai ulangannya dibawah sembilan puluh.
Tidak hanya itu, setiap kali belajar, ia pasti mendengar omelan yang membuatnya cukup tertekan di usia yang masih anak-anak.
“Maura! Kenapa nilai kamu jadi turun terus? Yang kamu pikirin itu apa, hah?”
“Apa kamu itu nggak bisa punya nilai bagus kayak Naura?” sambung ibunya. Ia lempar kertas ujian itu dan membuatnya berserakan. Sedangkan Naura hanya diam melihat Maura dimarahi ibunya. Sudah makanan sehari-hari ketika harus dibandingkan dengan saudara kembarnya.
“Sudahlah Bu, Maura itu masih kecil. Wajar kalau nilai itu naik turun,” ayahnya melerai.