Dua tahun sudah berlalu setelah keluarga Rama dan Dania memutuskan untuk pindah ke Jakarta, tujuannya supaya lebih mudah ketika bekerja. Rama dipindah tugaskan di kantor pusat. Itupun berkat kerja keras dan ketekunan Rama selama berkerja di perusahaan itu. Tak hanya itu, Dania pun berhasil membangun butik impiannya.
Saat itu Maura dan Naura sudah menginjak kelas dua SMP di SMP 3 NUSANTARA. Sekolah itu masih termasuk sekolah favorit di Jakarta. Dan jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya, hanya sekitar satu kilometer.
Semakin beranjak remaja, Maura tidak mau terlalu menutup dirinya. Karena sudah pasti, masa remaja itu akan mulai mengenal jatuh cinta. Tentu saja itu tidak bisa dihindari.
Meskipun Maura banyak berteman dengan laki-laki, kisah percintaannya tidak semudah seperti Naura yang sering menjadi incaran laki-laki. Hal itu seringkali membuatnya membenci dirinya sendiri.
Bahkan yang sering menjadi angannya adalah salah satu temannya akan diam-diam menyukainya seperti yang ada di novel atau film. Namun nihil, justru semua temannya lebih tertarik dengan Naura.
Maura boleh saja kalah cantik dan prestasi akademik, namun jika membicarakan bakat, Maura jauh lebih unggul. Terlebih lagi dalam bidang musik dan olahraga.
Malam itu, semua berkumpul di meja makan. Setelah makan malam, Rama selalu menanyakan “Bagaimana sekolah kalian hari ini?” Sebenarnya itu pertanyaan yang cukup membosankan menurut Maura, karena sudah pasti ujung-ujungnya, Ibunya akan memuji-muji Naura. Namun juga tidak sopan jika pergi mengabaikan kedua orang tuanya.
“Tadi ada pengumuman hasil ulangannya Yah, dan nilai aku paling tinggi,” wajah Naura menyeringai.
“Bagus,” puji ibunya sambil mengusap rambut Naura.
“Pamer,” seru Maura berbisik.
Rama hanya tersenyum dan mengamati Maura nampak menunduk karena kesal, ia pun melemparkan satu pertanyaan.
“Kalau kamu gimana Maura?”
“Hah,” Maura sedikit terkejut lalu mendongak.
“Oh iya, bulan depan ada pertandingan olahraga tingkat provinsi dan aku ikut lomba lari 100 meter. Jadi mulai besok, Maura bakal ketinggalan banyak pelajaran,” sambung Maura.
“Kamu harus latihan yang serius ya, buat Ayah bangga, kamu harus yakin bisa jadi atlet lari kayak Ayahmu ini,” Rama terkekeh.
“Ih, sejak kapan Ayah jadi atlet di kantor?”
Dengan kompaknya ayah dan anak itu tertawa begitu keras hingga suasana tegang sedikit berkurang.
Gurauan Rama dan Maura tidak sedikit pun membuat Dania tersenyum. Naura juga diam mendengarkan tawa yang selalu ayahnya tunjukkan untuk Maura.
“Ehmm, bilang aja kalau niat bolos,” sahut Dania.
Ruang itu sekarang kembali dingin. Maura selalu diam jika ibunya sudah ikut bicara.