Juang langsung memarkirkan mobilnya di parkiran apartemen, sebelum akhirnya masuk ke dalam lift menuju lantai 11 tempat apartemen Binar berada. Ia mengetuk pintu dengan keras berharap sang penghuni apartemen akan membukakan pintu untuknya. Benar saja, tak butuh waktu lama akhirnya pintu apartemen langsung terbuka menampilkan sosok Binar yang masih berpakaian sama ketika berada di Bukit Bintang.
“Kalau mau ceramahin gue, mending lo balik deh Wang!” ketus Binar karena sudah terlalu malas untuk berdebat malam ini.
“Gue ngga lo suruh masuk nih?” tanya Juang.
“Dibilangin balik aja ngga usah kesini!” kini nada bicaranya semakin tinggi menandakan kalau Binar benar-benar marah.
“Ya udah deh gue masuk ya,” ucap Juang seraya membuka pintu apartemen milik Binar lebar-lebar sebelum akhirnya masuk ke dalam.
Binar yang tidak bisa mencegah lagi akhirnya membiarkan Juang masuk ke dalam apartemennya. Binar hapal betul kalau Juang masuk ke dalam apartemennya, apapun yang ia lihat akan selalu dikomentar. Entah tempat tidurnya yang berantakan ataupun kamar mandi yang kotor. Belum lagi balkon tempat Binar meletakkan tanaman pun dikomentari oleh Juang, seperti mulut lelaki itu digunakan untuk mengomentari seluruh aspek hidup Binar.
“Udah ya Wang lo jangan ngomong apa-apa, bikin gue pusing tahu ngga?”
“Lagian gue belum ngomong apa-apa Bin,” ujar Juang kemudian duduk di dudukan rotan yang ada di dekat jendela balkon. Sedangkan Binar duduk di bibir tempat tidur.
“Terus lo kesini mau ngapain selain mau nyeramahin gue?” tanya Binar ketus.
“Gue cuma pingin lihat keadaan lo doang abis dari Bukit Bintang tadi kali Bin, gue yang ulang tahun tapi malah gue yang harus bikin kalian ngga ribut.”
“Lagian ngga ada yang nyuruh lo kesini juga,” jawab Binar cepat.
“Ada yang nyuruh gue tuh,”
“Ngga mungkin Saga atau Prisa.” Binar langsung bersedekap.
“Hati gue paling dalam,”
“Dih masih bisa bercanda aja lo Wang, padahal udah gue sinisin.”
“Udah Bin, mending kalian baikan deh. Toh kalian jarang ketemu kaya tadi kan, belum lagi beberapa bulan lagi lo balik Bandung.”
“Hah, tahu darimana lo kalau gue balik Bandung?”
“Dari Saga,”
“Hmm, dasar Prisa ember banget.”