Tak butuh beberapa lama hingga bubur kesukaannya itu sudah ada di depan matanya. Tanpa berlama-lama lagi ia langsung menyuap makanan itu ke dalam mulut. Matanya terbelalak merasakan enaknya bubur Mang Udin yang sudah tidak bisa diragukan lagi kelezatannya. Tak lupa dengan senyum merekah yang menghiasi wajahnya. Butuh beberapa menit untuk menghabiskan semangkuk bubur hingga tak bersisa, belum lagi ia menyeruput minuman air mineral dingin yang juga selalu ia pesan ketika memakan bubur.
Terasa lebih segar jika minum air dingin setelah memakan bubur yang hangat ataupun panas. Selepas menghabiskan bubur ia tak langsung kembali ke apartemennya, karena ia akan menunggu makanan yang masuk ke dalam perutnya tak terasa begah lagi dalam artian sudah turun ke organ yang lainnya. Oleh karena itu, sembari menunggu ia mengecek ponselnya barangkali ada pesan masuk. Tak mengharapkan siapapun, tetapi barangkali hal itu memang diperlukan.
Tetapi, ketika ia mengecek notification bar sama sekali tidak ada pesan apapun terlebih dari para sahabatnya. Ia tak ambil pusing dan langsung beralih pada aplikasi permainan. Disela-sela ia bermain di aplikasi tersebut, datang seorang pelanggan yang membuat perempuan itu sedikit menggeser duduknya dan memberi jarak agar pelanggan itu bisa duduk dengan leluasa. Maklum tempat bubut milik Mang Udin jika sudah siang begini hanya tersisa satu kursi panjang saja.
“Eh Masnya datang lagi, ngga bosen makan bubur terus Mas?” tanya Mang Udin basa basi.
Binar yang mendengar itu biasa saja, karena bisa dibilang Mang Udin ini memang ramah ke semua pelanggan jadi tak heran jika penjual bubur ini selalu hapal dengan setiap pelanggan yang datang ke warungnya. Karena saking akrabnya Mang Udin bahkan memanggil Binar dengan nama yang berbeda dari semua keluarga ataupun teman yang memanggilnya. Panggilan Thalia selalu keluar dari mulut penjual bubur itu ketika pemilik nama tersebut datang ke warungnya. Sehingga, tak lama setelahnya ia menjadi terbiasa dengan nama itu. Karena, ia merasa nama itu juga tidak kalah bagus dengan nama yang ia punya.
“Iya Mang, kayaknya aku juga bakal lama disini. Ngurusin beberapa kerjaan soalnya,” jawab pelanggan itu yang kini sudah duduk tak jauh dari posisi Binar.
Beberapa menit ia menggeluti aplikasi permainan yang cukup menyenangkan sembari mencari celah dari percakapan pelanggan di sampingnya dengan Mang Udin, sebab tak enak rasanya jika ia pulang tanpa berpamitan dengan sang penjual bubur yang sudah akrab dengan dirinya. Ketika waktu dirasa pas, akhirnya ia memotong percakapan keduanya dan berpamitan pulang pada Mang Udin.
“Mang Udin, saya balik dulu ya. Ini uangnya, besok-besok saya balik kesini.” ucapnya seraya beranjak dari duduknya.
“Oke siap Tha, larisin dagangan bapak anak tiga ini setiap hari ya.” jawab Mang Udin dengan cengiran khas yang menunjukkan seluruh giginya.
“Siap Mang Udin, kali aja bangunnya siang terus bakal kesini kok.”
“Ya udah makasih Tha,”
Binar langsung berbalik dan keluar dari warung itu langkahnya pelan menuju apartemennya, meskipun bisa dikatakan siang itu terik matahari cukup membuatnya kulitnya sakit seperti tertusuk jarum. Kemudian ia hanya bisa memayungi matanya dengan satu tangan agar tidak terlalu silau dan bisa melihat ke depan dengan jelas. Namun, di tengah-tengah jalan pulang tiba-tiba ia melihat seekor kucing yang sedang duduk di pinggir jalan.