Masing-masing dari mereka kini sudah berada di dalam mobil, Prisa membunyikan klakson sebagai tanda kepada Saga dan Juang kalau keduanya akan pulang. Di dalam mobil, Prisa mulai memutar sebuah lagu dari Sara Kays berjudul Traffic Lights. Kedua perempuan itu terdiam menikmati jalanan yang lengang. Seperti semesta sudah mengatur suasana sedemikian rupa untuk membuat mereka membuka topik pembicaraan yang terbilang tidak mudah.
“Kemarin Juang ke apartemen lo Bin?” tanya Prisa mengisi kekosongan.
“Iya Pris, katanya sih dia ngga mau kita berantem.”
“Aneh juga si Juang kesana hanya untuk bilang ngga mau kita berantem. Kayak dia kenal kita sehari aja.” tukas Prisa.
Perkataan Prisa tadi memang sedikit membuat Binar berpikir, lebih tepatnya mengingat memori ketika Juang datang ke apartemennya. Dari yang bisa ia ingat, sahabatnya itu hanya duduk di dekat jendela dan berbicara tentang pertengkarannya dengan Prisa. Perempuan itu juga mempertanyakan maksud dari kedatangan Juang ke apartemennya, kalaupun lelaki itu hanya ingin ia tidak lagi bertengkar dengan Prisa harusnya ia cukup mengatakan hal itu lewat pesan saja.
“Lagi gabut kali dia Pris, makanya datang ke apartemen gue.”
“Segabut-gabutnya orang juga ngga bakal kesana malem-malem kali Bin,”
“Lagian menurut gue dia juga ngga ada maksud lain Pris, toh dia juga udah punya gebetan.”
“Gebetan doang kali Bin, bukan pacar. Selama janur kuning belum melengkung aman-aman aja kali.”
“Lo bilang itu ke gue?” tanya Binar tidak mengerti.
“Ya terus gue bilang ke siapa lagi? Orang disini cuman ada kita berdua.”
Binar terdiam tak berniat untuk meneruskan percakapan, karena ia tahu betul kemana arah percakapan ini selanjutnya. Hal itu sangat ia hindari oleh karena itu ia lebih memilih diam, daripada Prisa terus mendesaknya dengan segala pernyataan dan pertanyaan yang cukup membuatnya risih kedepannya. Lagu masih mengalun pelan menemani mereka menghabiskan perjalanan menuju apartemen Binar. Tiba-tiba tercetus sebuah ide dari otak Binar untuk mengajak Prisa menginap di apartemennya malam ini. Karena, sudah lama juga Prisa tidak menginap di apartemennya. Kalau ia ingat-ingat dengan seksama, temannya itu menginap ketika liburan semester lalu.
“Pris! Nginap di apartemen gue aja ya?”
“Tumben banget lo, biasanya juga berani sendirian.”
“Ini bukan perkara sendirian atau ngga, tapi ini perkara lo udah lama ngga ke apartemen gue.”
“Kemarin gue ke apartemen lo tuh,”
“Itu kan di depan lobi, udah ayo nginap di gue aja. Lagian lo bisa berangkat kerja dari apartemen gue, secara baju lo juga masih ada di lemari gue nganggur.”
“Iya juga ya, ok deh Bin gue nginap di tempat lo.”
Binar mendengar hal itu menjadi senang, karena ia tidak akan sendirian malam ini. Ia bisa menghabiskan waktu bersama dengan Prisa entah itu dengan deep talk atau pun sekedar bercerita tentang hari-hari yang mereka lewati. Alhasil mereka langsung turun dari mobil begitu memarkir mobil di basement apartemen. Keduanya langsung naik ke lantai 11 dengan menaiki lift. Selama berada di lift mereka mengisi keheningan dengan berbicara topik ringan entah itu makanan yang sempat mereka pesan di kafe tadi ataupun membicarakan isu-isu terkini.
“Kamar lo ngga berubah ya Bin,” ujar Prisa ketika sudah memasuki kamar apartemen Binar.
“Emang power rangers bisa berubah?” gurau Binar.
“Suka deh gue kalau ke kamar lo, aesthetic tahu ngga.”
“Bukan aesthetic Pris, tapi lebih ke minimalis aja sebenarnya.”
“Iya udah deh, gue mau mandi. Baju gue masih di lemari kan?” tanya Prisa.
“Iya masih, ambil aja. Gue mau rebahan bentar.”
Prisa membuka lemari milik Binar kemudian mencari baju piyama miliknya yang sengaja ia tinggal di apartemen sahabatnya ini. Karena, hal ini juga diperlukan jika sewaktu-waktu ia harus menginap tanpa rencana seperti halnya hari ini. Ketika Prisa sudah mendapatkan baju piyama miliknya, ia pun bergegas menuju kamar mandi. Sedangkan Binar mulai menyalakan televisi untuk mengusir rasa lelah juga bosan yang mendiami hatinya.