Rumangsa

puspawarsa
Chapter #9

Melunak

Binar berusaha untuk menenangkan pikiran dan hatinya perkara Juang yang masih tidak membalas pesannya. Ada satu kesimpulan yang melekat di otaknya untuk saat ini. Perempuan itu berpikir kalau Juang masih marah tentang kejadian kemarin. Kejadian dimana ia tidak mau untuk diajak keluar bersama Juang.

Ia merasa frustasi dengan hal itu, karena sampai saat ini Juang juga tak kunjung membalas pesannya. Hendak meminta tolong kepada Saga ia ragu kalau sahabatnya satu itu akan berpikiran bahwa masalah yang ia alami ini begitu serius. Oleh karena itu, ia hanya bisa menunggu Juang membalas pesannya.

Mungkin ia bisa membicarakan semuanya ketika Juang ke apartemennya saat malam minggu nanti. Namun, ia juga teringat kalau pun Juang ke tempatnya tidak menutup kemungkinan bagi laki-laki itu tetap marah padanya. Perempuan itu kesal karena tidak menemukan solusi yang kiranya masuk di otaknya. Semua konsekuensi selalu lewat di otaknya, dan hal itu membuatnya takut.

Merasa tak perlu lagi memusingkan hal itu, ia pun langsung membuka laptopnya dan langsung menonton film dengan harapan pikirannya sedikit teralihkan. Benar saja, tak butuh waktu lama pikirannya penuh dengan teori-teori tentang film yang ia tonton itu. Tetapi film yang berdurasi tak kurang dari dua jam itu langsung habis dan kini ia dilanda dilema lagi.

Beberapa jam lagi mungkin para sahabatnya itu akan ke tempatnya, dan ia bingung harus melakukan apa lagi sembari menunggu kedatangan mereka. Oleh karena itu, ia memiliki ide untuk pergi ke taman belakang apartemen. Mungkin disana ia bisa menjernihkan pikiran dan juga pernafasan.

Meskipun taman belakang apartemen tidak begitu luas, tetapi setidaknya matanya cukup untuk melihat tanaman berwarna hijau yang cukup menyegarkan matanya. Tanpa berlama-lama lagi, ia langsung mengambil ponsel miliknya dan keluar dari kamar apartemennya menuju lift. Sesampainya ia di lift, jarinya menekan tombol menuju lobi.

Tak butuh waktu lama bagi perempuan itu untuk sampai di lobi sebelum berjalan ke samping bangunan apartemen kemudian berjalan ke belakang bangunan. Untungnya, saat itu taman belakang apartemen sedang sepi sehingga ia bisa menikmati waktu di tempat ini dengan tenang tanpa gangguan apapun. Mungkin karena sekarang hari Sabtu sehingga para penghuni apartemen lebih memilih untuk keluar jalan-jalan daripada berdiam diri di taman seperti dirinya.

Ia tak menyalahkan itu, karena dari hal kecil seperti ini ia bisa sedikit mendapat ketenangan. Ia duduk di kursi taman yang memiliki sandaran di punggung. Entah kenapa, meskipun ia seharian berada di kamar dan memiliki kasur yang empuk nyatanya tak bisa mengalahkan kenyamannya duduk di kursi taman seperti ini.

Mungkin sugesti dari pikirannya secara tidak langsung menyuruhnya untuk sekedar mencari angin segar sehingga hal semacam ini terbilang sangat menyenangkan baginya. Ketika ia sedang merubah posisi untuk mencari posisi paling nyaman, ia melihat jam yang terpampang di layar ponselnya.

Masih pukul tiga sore, dan ia memiliki cukup waktu untuk berdiam diri di taman belakang apartemen ini. Untungnya, ia juga membawa earphone untuk menyumpal telinganya dengan lagu instrumental sembari menikmati semilir angin sore itu. Kalau ia beruntung, mungkin ia bisa melihat senja dari taman belakang apartemen ini.

Sementara itu, di sebuah kamar yang berantakan ada seorang lelaki yang sedari tadi frustasi mengacak rambutnya karena ulah sahabatnya sendiri. Dari sekian banyak tempat untuk nongkrong, kenapa sahabatnya itu malah memilih apartemen Binar sebagai tempat untuk menghabiskan malam minggu.

Dalam hatinya, ia merasa untuk tidak akan datang kesana. Namun, dalam pikirannya ia juga merasa khawatir kalau Binar tetap berpikiran bahwa dirinya masih marah atas kejadian kemarin. Padahal satu-satunya kekhawatirannya semisal ia bertemu Binar ia tak bisa bertingkah layaknya orang normal.

Kecanggungan yang nantinya akan tercipta tentunya akan membuat dirinya mati kutu dan juga tentunya membuat Prisa dan Saga akan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya dan Binar. Memikirkan hal itu membuat kepalanya tambah pusing, sudah berkali-kali ia memaki dirinya sendiri karena tidak becus berpikir jernih saat ini.

Sampai-sampai kefrustasiannya itu berhenti sejenak karena ponsel yang ada di atas tempat tidurnya itu berbunyi. Terlihat jelas, bahwa Saga sedang meneleponnya. Tanpa pikir panjang, ia langsung menjawab panggilan itu dan langsung terdengar suara sahabatnya dari seberang telepon.

 

“Halo Wang!”

“Kenapa Ga?” jawab Juang berusaha datar.

“Lo jadi ikut apa ngga nih? Kalau lo jadi, mau gue jemput ngga?”

“Lo berangkat dulu aja deh, entar gue nyusul.”

“Oh ya udah, eh tapi nitip makanan semisal lo emang mau nyusul.”

“Nitip apaan?”

“Nasi Goreng.”

Lihat selengkapnya