Rumi El Habsy

Oktonawa
Chapter #2

Bayangan yang Bernapas

Bunyi klik.

Satu-satunya detak jantung yang kuizinkan berbunyi keras di lembah ini. Logam dingin dari badan kamera Leica tua menempel di pipi, hampir terasa seperti kecupan beku dari seorang kekasih yang telah lama pergi. Di depan sana, puncak-puncak gunung yang compang-camping merobek langit pagi. Langit itu kanvas yang terlampau jujur, muntah warna jingga dan ungu tanpa permisi, seolah tidak peduli pada bayangan-bayangan yang masih meringkuk di dasar lembah.

Aku menahan napas. Udara tipis ini, pisau yang mengiris paru-paru sekaligus membersihkannya. Satu bidikan lagi, ya. Fokus manual kuputar pelan, mencari ketajaman pada siluet seekor bharal, domba biru liar, yang berdiri pongah di tepi jurang. Ia tidak tahu sedang diamati. Itulah kemewahan terbesar mahluk hidup, ketidaktahuan. Sebuah kemewahan yang sudah lama kucampakkan.

Klik...

Suara kedua terasa lebih mantap. Aku menurunkan kamera, membiarkan tali kulitnya yang sedikit usang menggesek leherku. Domba itu masih di sana, napasnya mengepul di udara dingin, menjadi awan-awan kecil yang fana. Seperti doa yang tak pernah sampai ke langit. Aku tidak memotret domba itu. Aku memotret kesendiriannya. Kesendirian yang tinggi, bukan kesendirian pecundang yang melarikan diri. Setidaknya, itu yang kukatakan pada diriku, ya. Kepada diri sendiri.

Nama Elvant adalah sebuah kebohongan yang kubangun dari serpihan salju dan keheningan. Sebuah benteng tanpa dinding, terbuat dari jarak, juga puing harapan yang telah terbuang. Di desa bawah, orang-orang mengenalku sebagai fotografer pendiam yang datang entah dari mana. Mereka tidak banyak bertanya. Di tempat setinggi ini, masa lalu adalah barang bawaan yang berat. Semua orang datang untuk meninggalkan sesuatu, bukan untuk mengungkitnya.

Rumiku, telah kubunuh perlahan-lahan. Rumi el Habsy, nama yang terasa seperti pasir di mulut, agen yang tangannya pernah membentuk geopolitik lewat laras senapan dan racun tanpa rasa. Dia terkubur di bawah longsoran salju di perbatasan Afghanistan, setidaknya begitulah laporan resminya. Dikhianati oleh unitnya sendiri, oleh orang yang memberinya perintah terakhir. Khan. Nama itu sendiri adalah bisikan semerbab angin kering yang membawa debu mesiu.

Laporan resmi adalah sebuah karya fiksi yang indah. Agen gugur dalam tugas, pahlawan tanpa nama. Tapi aku tahu kebenarannya. Pengkhianatan itu bukan hanya untuk menyingkirkanku. Itu adalah sebuah operasi pembersihan. Operasi Luthar adalah sebuah kegagalan atau mungkin keberhasilan yang terlalu besar. Aku tidak sengaja mendengar sesuatu yang seharusnya tidak kudengar, melihat data yang seharusnya tidak pernah ada. Khan, dalam kebijaksanaannya yang dingin, tidak bisa membunuhku begitu saja. Tidak sebelum dia tahu apa yang kutahu. Jadi, dia melakukan hal terbaik berikutnya. Yaitu, mengubahku menjadi sebuah brankas berjalan yang hilang, sebuah arsip hitam yang terkubur di bawah salju, berharap kuncinya akan selamanya hilang.

Selama dua tahun, ilusi itu bekerja. Aku mencoba mengubur ingatan itu di bawah ribuan foto matahari terbit dan lumut di bebatuan. Aku mencoba percaya bahwa aku hanyalah seorang pria yang melarikan diri dari bayang-bayangnya. Tapi jauh di dalam, aku tahu. Aku bukan melarikan diri. Aku sedang dijaga. Oleh gunung-gunung ini, oleh keheningan ini. Dan oleh diriku sendiri. Aku adalah penjara sekaligus narapidananya di waktu yang sama.

Kebiasaan lama mati susah. Atau tidak pernah mati, hanya ganti kulit seperti ular di bebatuan ini. Setiap kali aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju desa, mataku memindai. Bukan mencari keindahan, tapi mencari anomali. Posisi batu yang janggal. Jejak kaki yang terlalu segar. Bayangan yang bergerak melawan arah angin. Tanganku, meski seringnya memegang kamera, masih hafal betul berat dan keseimbangan sebuah pisau. Otot-otot ini punya ingatan mereka sendiri, ingatan yang tidak bisa dihapus oleh pemandangan matahari terbit atau terbenam, seindah apapun itu.

Pondok kayuku kecil, hanya cukup untuk satu orang dan bayang-bayangnya. Sebuah ranjang, meja kerja penuh peralatan kamera, dan sebuah tungku api yang selalu menyala lapar. Tidak ada internet. Sinyal telepon adalah kemewahan yang hanya bisa didapat jika kau mau mendaki dua jam ke punggungan timur. Aku tidak pernah mau. Jejak digital adalah nisan permanen di era ini. Dan aku belum ingin punya nisan.

Lihat selengkapnya