Rumi El Habsy

Oktonawa
Chapter #3

Siluet di Atas Es

Layar itu, sebuah persegi panjang yang memuntahkan cahaya buatan, adalah satu-satunya matahari di dalam pondok yang telah ditelan malam. Di permukaannya, sebuah gambar. Bukan lagi lanskap, bukan lagi seni. Ia telah menjadi sebuah membran tipis yang memisahkan kehidupanku yang sekarang dengan neraka lamaku. Dan membran itu baru saja sobek.

Piksel-piksel itu pecah saat aku memperbesarnya, sebuah mosaik digital yang taksa. Wajahnya hanya gumpalan warna kulit yang kabur. Tapi aku tidak butuh wajah. Aku butuh postur. Dan postur itu, cara sosok itu memarkir dirinya di atas bumi, dengan keheningan yang bukan milik seorang pendaki atau gembala yang tersesat. Itu adalah keheningan yang menghakimi. Keheningan milik seorang pemburu yang telah menemukan buruannya dan kini sedang menikmati momen sebelum tarikan pelatuk.

Otakku, pengkhianat terpelajar itu, mulai menyodorkan penjelasan-penjelasan logis. Pareidolia. Kecenderungan pikiran manusia untuk mencari pola-pola yang familiar dalam data yang acak. Ya, jelas. Itu hanya formasi batu yang aneh. Hanya bayangan yang jatuh dengan sudut yang janggal. Otot di rahangku mengeras, menolak penghiburan murahan yand dipaksakan itu. Mata boleh berbohong. Lensa bisa menipu. Tapi ususku tidak. Perutku, yang telah menjadi arsip bagi ketakutan-ketakutan selama bertahun-tahun, kini sedang mengirimkan sinyal yang sama seperti yang kurasakan di lorong-lorong sempit Beirut atau di atap-atap gedung di Istanbul: Kau sudah terlihat.

Jantungku tidak berdebar kencang. Tidak. Ia melakukan sesuatu yang lebih buruk. Sebuah debaran yang lumpuh, berat, seolah setiap denyutnya harus mendorong darah yang telah berubah menjadi timah cair. Aku menarik napas, dan udara berbau jelaga dari tungku terasa seperti pasir di tenggorokanku. Di sudut jendela, seekor kupu-kupu malam, entah bagaimana ia bisa masuk, lalu mengetuk-ngetuk kaca dengan keputusasaan yang ritmis. Ia melihat cahaya dari laptopku, mengiranya bulan, dan kini ia mati-matian mencoba terbang menuju surga palsu itu. Aku dan kupu-kupu itu. Kami berdua terperangkap oleh cahaya yang salah.

Aku berdiri. Gerakanku tidak lagi membawa beban kontemplasi seorang seniman. Ini adalah efisiensi murni. Tubuhku mengambil alih, otot-ototku membuka fail-fail ingatan lama. Pondok ini, yang tadinya adalah cangkang pertapa, kini bermetamorfosis menjadi sebuah peti mati yang potensial. Jendela di sebelah barat: titik masuk. Pintu depan: jalur tembak yang fatal. Papan lantai yang berderit di dekat tungku: pengkhianat akustik. Selama dua tahun aku mendekorasi sangkarku, lupa bahwa sangkar tetaplah sangkar. Tidak akan pernah menjadi labirin.

Sosok itu. Cara ia berdiri, santai namun berakar. Hanya satu orang yang kukenal bisa berdiri seperti itu. Seolah ia memiliki tanah tempatnya berpijak.

Maher.

Nama itu tidak datang sebagai sebuah kata, melainkan sebagai sebuah rasa. Rasa teh mint yang terlalu manis di sebuah pasar malam di Marrakesh, bercampur dengan bau anyir darah yang samar-samar tercium dari bawah kuku jarinya. Sebuah ingatan menyerbu, bukan seperti film, tapi seperti pecahan kaca yang dihujamkan ke otak.

Panas. Panas yang lengket dan membebani. Kami di sebuah atap, menatap ke apartemen di seberang jalan. Maher sedang membersihkan lensanya dengan kain sutra, bersenandung pelan. Target kami, seorang jurnalis yang menggali terlalu dalam, sedang bercinta dengan istrinya. Bayangan mereka menari di tirai jendela. Indah, dengan cara yang brutal.

"Lihat itu, Rumi," bisik Maher, suaranya parau dan geli. "Bahkan di ambang kematian, sosok itu masih mencari kehangatan. Kita ini mahluk yang menyedihkan sekaligus terhormat." Dia tidak melihat target sebagai manusia. Dia melihatnya sebagai sebuah konsep filosofis yang harus dihapus. Nanti, setelah misi selesai, dia jugalah yang menepuk punggungku dan berkata, "Khan akan bangga. Stabilitas melalui ketakutan. Kau ingat mantranya, kan?" Ya, aku ingat mantranya. Mantra yang sama yang digunakannya untuk membenarkan pengkhianatan apapun.

Lihat selengkapnya