Tanganku tidak lagi gemetar. Ia turun, menembus lapisan udara dingin di dalam ceruk lantai itu, dan menyentuh kain minyak yang membungkus hantu tersebut. Dinginnya berbeda. Dinginnya logam kamera adalah dingin yang pasif, yang menerima kehangatan dari kulit.
Dinginnya benda ini adalah dingin yang aktif, yang menyedot panas, yang menggigit. Aku mengangkatnya. Sebuah Sig Sauer P226, dimodifikasi sesuai pesanan. Beratnya terasa seperti sebuah dosa asal yang kembali ke tangan pemiliknya. Dua tahun aku melatih jari-jariku untuk mengenali kelembutan kelopak bunga liar dan tekstur lumut di atas batu. Kini, dalam hitungan detik, mereka kembali fasih dalam bahasa karat dan polimer. Lekuk gagangnya, posisi pelepas magazen, jarak picu—semua adalah dialek yang kukenal lebih baik dari bahasa ibuku sendiri.
Aku membawanya ke meja, meletakkannya di atas selembar kulit rusa. Di sebelahnya, kuletakkan dua magazen cadangan yang terisi penuh. Amunisi hollow-point. Didesain untuk tidak sekadar menembus, tapi untuk mekar di dalam target. Untuk menyampaikan pesan dengan cara yang paling brutal dan tak terbantahkan.
Ritual itu dimulai.
Aku membongkar pistol itu dengan mata terpejam, hanya mengandalkan indra peraba. Setiap komponen yang terlepas adalah sebuah not dalam sebuah lagu pemakaman yang telah lama kuhafal. Pegas yang melenting, laras yang terlepas dari rangkanya. Aku membakari sejumput daun juniper kering di dalam sebuah mangkuk tanah liat, sebuah kebiasaan yang kuambil dari Zabeck. Asapnya yang tajam dan wangi memenuhi pondok, seharusnya untuk membersihkan, untuk mengusir roh jahat. Ironis. Aku justru sedang mengundang roh paling jahat di dalam diriku untuk kembali ke rumah. Asap juniper bercampur dengan bau minyak senjata. Sebuah parfum neraka.
Aku membersihkan setiap bagian dengan ketelitian seorang ahli bedah. Ini bukan sekadar perawatan alat. Ini adalah sebuah pengakuan dosa, sekaligus sebuah janji untuk berbuat dosa lagi. Setiap gesekan kain pada larasnya mengikis dua tahun usaha Elvant untuk menjadi manusia lain. Karat yang kubersihkan bukan dari logamnya, melainkan dari jiwaku. Jiwa yang telah mencoba bersembunyi di balik lensa kamera. Selesai. Aku merakitnya kembali. Bunyi klik terakhir saat rangkanya menyatu dengan sempurna terdengar lebih nyaring daripada ketukan di pintu tadi.