Rumi El Habsy

Oktonawa
Chapter #5

Sarang di Tulang Belulang

Aku tidak kembali ke pondok sebagai seorang penghuni. Aku kembali sebagai seorang penyusup di dalam hidupku sendiri. Setiap langkah di jalan setapak yang sama, yang ribuan kali kulalui untuk mencari ketenangan, kini terasa seperti berjalan di atas hamparan pecahan kaca. Selongsong peluru di sakuku adalah sebuah batu pemberat, menarikku kembali ke dasar laut yang keruh tempatku berasal.

Pondok itu, dari kejauhan, bukan lagi sebuah suar harapan. Ia adalah makam kayu yang telah dipesan untuk Elvant. Keputusan itu tidak datang dalam bentuk kata-kata di kepala. Ia adalah sebuah kepastian fisik. Sebuah pergeseran tektonik di dalam ususku. Aku akan pindah ke reruntuhan biara lama di punggungan atas. Gompa yang ditinggalkan para biksu berabad-abad lalu saat iklim berubah menjadi terlalu kejam. Sebuah tempat yang dibangun untuk kontemplasi sunyi, kini akan menjadi pos pengamatan bagi seorang pendosa. Ada semacam puisi yang sakit di dalamnya. Membuat sarang di dalam tulang belulang seekor naga suci.

Di dalam pondok, udaranya terasa basi. Bau asap juniper dan minyak senjata masih menggantung, sebuah parfum perpisahan. Aku bergerak dengan tujuan yang dingin. Pertama, ransel kulit rusa yang penuh peralatan kamera kutinggalkan begitu saja. Elvant sudah mati, dan hantunya tidak butuh semua itu. Aku mengambil ransel taktis berwarna hitam dari persembunyiannya, ransel yang sama yang menemaniku melintasi perbatasan Afghanistan. Isinya ramping: P3K trauma, tali, pisau, beberapa batang protein padat, dan sebuah radio frekuensi yang kepingannya kuambil dari rongsokan militer di Kandahar.

Kemudian, mataku tertuju pada tumpukan foto yang telah kucetak. Pemandangan danau beku. Seekor yak tua menatap lensa dengan mata bijak. Wajah Duzha yang tertawa saat ia tidak tahu sedang dipotret. Semua adalah bukti dari sebuah kebohongan yang indah. Bukti bahwa aku pernah mencoba.

Aku mengambilnya satu per satu dan melemparkannya ke dalam tungku api yang sisa baranya masih menyala oranye. Kertas foto itu melengkung, ragu-ragu, sebelum api menjilat tepinya. Wajah Duzha yang tertawa berubah menjadi hitam, lalu menjadi abu. Pemandangan danau yang megah menggelegak dan lenyap.

Aku sedang membakar penebusanku sendiri. api ini bukan sekadar ritual sentimental. Ini adalah sterilisasi. Elvant adalah sebuah legenda, sebuah penyamaran, dan seorang agen yang baik tidak pernah meninggalkan jejak dari penyamaran lamanya. Foto-foto ini adalah bukti dari dua tahun kegelapan, dua tahun di mana brankas di dalam kepalaku tidak terjaga. Aku harus menghapus semua bukti bahwa aku pernah mencoba menjadi manusia lain, sebelum mereka datang untuk memeriksa isinya.

Dan saat aku melihat api itu, satu wajah yang muncul bukanlah wajah di foto-foto itu, melainkan wajah Khan. Khan tidak pernah berteriak. Ia tidak perlu. Ia akan duduk di seberangmu di sebuah ruangan steril, menyodorkan secangkir teh Earl Grey, dan dengan suara yang tenang ia akan menjelaskan mengapa stabilitas sebuah negara lebih penting daripada nyawa seorang anak, atau mengapa pengkhianatan adalah alat yang diperlukan dalam sebuah permainan besar.

"Kita bukan monster, Rumi," katanya pernah, matanya yang pucat menatapku tanpa berkedip. "Monster bertindak tanpa alasan. Kita adalah ahli bedah, profesional. Kita mengamputasi satu anggota tubuh yang sakit untuk menyelamatkan seluruh badan. Rasa sakit itu perlu. Ketakutan itu adalah antiseptik." Selongsong peluru itu. Itu adalah bahasanya. Bukan ancaman langsung, tapi sebuah pernyataan filosofis. 'Aku di sini. Aku tahu kau di sini. Aku bisa mengakhirimu kapan saja. Tapi aku tidak akan melakukannya. Belum. Aku ingin kau tahu bahwa kau hidup atas izin dariku.' Itu adalah cara Khan mengamputasi harapan.

Lihat selengkapnya