Rumi El Habsy

Oktonawa
Chapter #6

Denyut Batu dan Mata Malam

Malam di dalam gompa adalah sebuah entitas yang berbeda.

Di pondok, malam adalah ketiadaan cahaya. Di sini, di antara tulang-belulang batu yang telah menyaksikan seribu tahun bulan purnama, malam adalah sebuah kehadiran. Ia memiliki berat, tekstur, dan suara. Suaranya adalah siulan angin yang konstan melewati jendela-jendela kosong, sebuah lagu yang dimainkan di atas seruling yang terbuat dari rongga mata seorang dewa yang telah mati.

Aku tidak tidur. Istirahat adalah kemewahan yang diberikan kepada mereka yang percaya hari esok akan datang. Aku bergerak dalam kegelapan yang nyaris absolut, membiarkan mataku beradaptasi, membiarkan kulitku merasakan perubahan suhu di setiap sudut. Ini bukan lagi sekadar bangunan; ini adalah sebuah tubuh.

Koridor-koridornya adalah pembuluh darah yang mengeras, ruang-ruang meditasinya adalah bilik-bilik jantung yang telah berhenti berdetak, dan aku adalah demam baru yang mengalir di dalamnya. Tanganku meraba permukaan dinding batu. Dingin, kasar, dan ditumbuhi lumut yang butuh satu abad untuk tumbuh selebar ibu jari. Aku merasakan denyutnya. Bukan denyut kehidupan, melainkan denyut keabadian. Denyut batu yang telah belajar untuk bertahan. Aku harus belajar bahasa ini. Bahasa kesabaran yang ekstrem. Bahasa menjadi batu. Aku menemukan tempatku di tingkat paling atas, di sisa-sisa sebuah balkon observasi bintang yang atapnya telah lama runtuh.

Dari sini, aku punya garis pandang yang nyaris sempurna ke lembah di bawah. Ke pondokku yang kini yatim piatu. Ke permukaan danau yang memantulkan cahaya bintang seperti serpihan berlian di atas kain beludru hitam. Ini adalah sarang elangku. Aku mengeluarkan teropong dari ransel. Sebuah Leica Noctivid. Ironis. Alat yang kubeli untuk mengamati burung-langka dan detail lanskap kini kembali ke fungsi aslinya di tanganku yang lama: alat untuk mengamati manusia. Lensa yang sama yang pernah mencari keindahan kini mencari anomali, mencari gerakan di dalam bayang-bayang.

Malam berlalu dalam siklus pengamatan yang metodis. Sepuluh menit menatap pondok. Sepuluh menit menatap jalur utama desa. Sepuluh menit memindai tepian danau. Di antara setiap siklus, aku menutup mata, bukan untuk istirahat, tapi untuk mendengarkan. Mendengarkan napas gompa. Memisahkan suara angin dari suara kerikil yang mungkin terinjak. Memisahkan ketakutan dari kenyataan. Ini adalah disiplin yang menyiksa. Otakmu ingin menciptakan bayangan di setiap sudut. Tugasmu adalah membuktikan bahwa bayangan itu tidak nyata, sampai salah satunya ternyata nyata.

Fajar datang bukan sebagai kelegaan, tapi sebagai perubahan taktis. Cahaya pagi yang pucat menelanjangi lembah, menghilangkan tempat bersembunyi kegelapan. Tidak ada gerakan di sekitar pondok. Tidak ada tanda-tanda kehadiran. Ini sesuai dengan manual Khan. Setelah menunjukkan taringnya, ia akan menarik diri, membiarkan korbannya terkurung dalam penantian. Membiarkan ketakutan melakukan pekerjaan kotor untuknya.

'Pikiran adalah medan perang yang paling efisien, Rumi. Menangkan di sana, maka pertempuran fisik hanyalah sebuah formalitas.' Suara Khan berbisik bersama angin pagi. Aku butuh perbekalan. Batang protein tidak akan cukup untuk permainan jangka panjang. Aku butuh lemak, garam, bahan bakar untuk tubuh yang terus-menerus waspada.

Lihat selengkapnya