Malam ketiga di gompa, dingin tidak lagi hanya menusuk kulit. Ia mulai merayap ke dalam tulang, seolah ingin menggantikan sumsum dengan serbuk es. Aku bersandar pada pilar batu yang usianya seribu kali lebih tua dariku, merasakan denyutnya yang lambat dan beku.
Keheningan begitu nyata, begitu berat, hingga ia mulai melahirkan gema dari kehidupan lain. Kehidupan yang pernah kucoba miliki. Dan di tengah dingin yang abadi itu, sebuah ingatan tentang kehangatan datang menyergap. Bukan sebagai sebuah hiburan, tapi sebagai sebuah serangan. Samarkand.
Pagi itu berbau kopi tubruk dan sampo melati Rintizha. Cahaya matahari tumpah melalui jendela apartemennya yang tinggi, memotong udara penuh debu menjadi bilah-bilah emas. Aku terbangun sebelum dia, sebuah kebiasaan yang tidak pernah bisa kuubah. Aku memperhatikannya tidur, napasnya teratur, satu tangannya tergeletak di atas sebuah buku hukum yang terbuka.
Wajahnya dalam keadaan istirahat adalah sebuah argumen paling kuat tentang adanya kedamaian di alam semesta. Dia memberiku sebuah kunci dari hidupnya, dan aku memberinya sekumpulan kebohongan yang terkurasi dengan baik. Aku adalah seorang konsultan akuisisi untuk perusahaan tekstil di Eropa, kataku.
Pekerjaan yang membawaku bepergian ke tempat-tempat yang ganjil dan memaksaku menghilang selama berminggu-minggu. Sebuah kebohongan yang cukup membosankan untuk tidak mengundang banyak tanya.
"Kau punya bekas luka baru," katanya suatu pagi, menelusuri garis putih tipis di punggung tanganku dengan ujung jarinya yang hangat. Itu adalah goresan dari pecahan kaca saat aku melompat dari jendela di Baku.
"Peti kayu di gudang Tashkent sangat reot," jawabku, sebuah kebohongan yang lahir sepersekian detik sebelumnya. Dia tersenyum, menerima. Kepercayaannya adalah sebuah benda yang begitu murni, begitu berat, hingga aku merasa seperti seorang pencuri setiap kali aku berada di dekatnya.
Cinta Rintizha adalah satu-satunya wilayah yang tidak bisa dipetakan oleh intelijen Khan. Sebuah anomali yang membahagiakan sekaligus mematikan. Ponsel satelitku bergetar di dalam saku jaket. Bukan ponsel yang Rintizha tahu kumiliki. Getarannya senyap, tapi di dalam sistem sarafku ia berbunyi seperti sirene serangan udara. Sebuah pesan masuk. Hanya satu kata: Bishkek. Aku harus pergi. Lagi.
"Ada masalah dengan pengiriman sutra dari Kirgistan," kataku padanya sambil mencium keningnya. Setiap kebohongan adalah sebuah sayatan kecil di jiwaku. "Aku harus segera berangkat." Dia menatapku, matanya yang cerdas menyipit.
"Kau tampak lelah, Rumi. Lebih dari sekadar lelah karena pekerjaan." Dia melihatnya. Retakan-retakan kecil di topengku. Aku hanya tersenyum.
"Aku hanya lelah karena merindukanmu bahkan sebelum aku pergi." Jawaban itu membuatnya tersenyum lagi. Aku telah belajar cara menggunakan kejujuran emosional sebagai tameng untuk menutupi kebohongan operasional. Itu adalah salah satu trik paling kotor yang diajarkan oleh Sec-SASI.