Rumi El Habsy

Oktonawa
Chapter #8

Jejak yang Disengaja

Fajar keempat di gompa tidak membawa kehangatan, ia membawa kejernihan.

Ingatan tentang Rintizha dan Khan tidak lagi menjadi sebuah luka yang bernanah, melainkan telah mengeras menjadi sebilah pisau es di dalam benakku. Aku sekarang paham. Khan tidak sedang mencoba membunuhku. Dia sedang bermain. Dia telah menempatkan bidak-bidaknya di atas papan catur Himalaya ini, dan dia sedang menunggu reaksiku. Menunggu untuk melihat apakah dua tahun menjadi fotografer telah menumpulkan instingku.

Kesalahan terbesarnya adalah mengira bahwa aku masih bermain untuk bertahan hidup.

Aku tidak lagi bertahan. Aku sedang beradaptasi untuk berburu.

Rencananya terbentuk bukan dari pemikiran, tapi dari naluri. Seekor pemangsa tidak menunggu mangsanya datang ke sarang; ia keluar, ia menunjukkan dirinya, ia menciptakan peluang. Aku harus meninggalkan benteng batu ini. Aku akan turun gunung. Aku akan sengaja membuat jejak. Sebuah jejak yang cukup samar untuk terlihat seperti kelalaian, namun cukup jelas untuk diikuti oleh mata yang terlatih. Aku akan menjadi umpannya.

Aku bergerak sebelum cahaya matahari pertama menyentuh puncak-puncak tertinggi. Angin bertiup dari utara, dari punggungan yang lebih tinggi. Bagus. Suara dan aromaku akan terbawa ke lembah, bukan ke atas, tempat pengamatku kemungkinan besar berada. Aku memilih rute yang berbeda kali ini. Rute yang lebih terbuka, yang sesekali memaksaku melintasi hamparan salju tanpa perlindungan batu atau pohon. Sebuah rute yang akan dipilih oleh seorang Elvant yang putus asa, bukan oleh Rumi yang waspada. Setiap langkah adalah sebuah kebohongan yang sengaja kutanam di lanskap.

Dunia di sekelilingku adalah sebuah teks yang harus kubaca secara simultan di dua tingkat. Di satu sisi, ada keindahannya yang brutal: embun beku yang berkilauan di atas daun rhododendron yang kaku, keheningan agung yang hanya dipecah oleh suara gagak di kejauhan. Di sisi lain, setiap elemen adalah data taktis. Lereng itu punya sudut 40 derajat, terlalu curam untuk diserbu tanpa suara. Formasi batu di sana menyediakan dead ground seluas sepuluh meter. Gagak itu tidak berkaok tanpa alasan; ada sesuatu yang mengusik teritorinya.

Aku terus bergerak, pistol di dalam jaketku terasa seperti jantung kedua yang dingin dan berat. Aku adalah sebuah anomali yang bergerak, sebuah titik gelap di atas kanvas putih, memohon untuk diperhatikan. Paranoia adalah dengungan konstan di belakang telingaku, tapi aku memaksanya menjadi fokus. Aku tidak takut pada peluru yang akan datang. Aku mengundangnya. Karena sebuah tembakan akan membongkar posisi penembak. Sebuah tembakan adalah sebuah dialog. Dan aku sangat merindukan percakapan semacam itu.

Tujuanku adalah area di sekitar gubuk Zabeck. Zona itu logis. Jika aku putus asa, aku akan mencari satu-satunya orang yang pernah bertransaksi denganku. Itu adalah narasi yang bisa dipercaya.

Saat aku mendekat, aku melambat. Aku melihatnya dari kejauhan. Habshi. Anak itu sedang berdiri di tepi sebuah punggungan kecil, memegang kameranya. Dia tidak memotret pemandangan. Dia memotret seekor pika, sejenis tikus gunung, yang sedang berjemur di atas batu. Dia sabar. Dia berlutut, mencoba mendapatkan sudut yang rendah, persis seperti yang pernah kusinggung dalam percakapan singkat kami.

Sebagian kecil dari diriku, bagian Elvant yang sekarat akan merasa bangga. Sebagian besar dari diriku, bagian Rumi yang kini dominan, melihatnya sebagai sebuah aset. Sebuah pemicu.

Aku tidak menyelinap. Aku berjalan normal, membiarkan derit sepatuku di atas salju menjadi pengumuman kedatanganku. Habshi menoleh, terkejut. Matanya melebar. Melihatku muncul dari arah hutan liar, bukan dari arah pondokku, pasti terlihat aneh.

"Elvant," sapanya, sedikit gugup. "Aku tidak tahu kau ada di sini."

"Aku sedang berjalan," jawabku, suaraku datar. Aku sengaja berdiri di tempat yang terbuka, dengan latar belakang langit yang cerah. Sebuah siluet yang sempurna bagi sebuah teleskop. "Aku mencari ayahmu."

"Dia sedang memasang perangkap di sisi lain lembah," kata Habshi, matanya kini menatapku dengan campuran rasa ingin tahu dan sesuatu yang lain. Mungkin sedikit ketakutan. Aku pasti terlihat berbeda. Lebih kurus, lebih tajam, mataku pasti memancarkan intensitas yang tidak ada sebelumnya. "Apa ada masalah?"

Inilah umpannya. "Aku… aku butuh beberapa barang lagi. Pondokku…" Aku berhenti, membiarkan kalimat itu menggantung, membiarkan imajinasinya mengisi kekosongan. Pondokku diserang? Aku melarikan diri? "Aku hanya butuh tempat untuk berpikir sejenak."

Aku melihatnya memproses informasi itu. Matanya melirik ke arahku, lalu ke arah kamera di tangannya, seolah mencoba mendamaikan sosok guru fotografi yang pendiam dengan pria liar yang berdiri di hadapannya sekarang.

"Tentu saja," katanya akhirnya. "Kau bisa menunggunya di gubuk kami. Aku akan membuatkan teh."

"Tidak," kataku dengan cepat. "Jangan. Aku hanya akan… di sekitar sini." Aku menunjuk ke sebuah area bebatuan tak jauh dari sana. "Aku tidak ingin merepotkan."

Lihat selengkapnya