Rumi El Habsy

Oktonawa
Chapter #9

Hujan di Humberg dan Ikatan

Pistol di tanganku mendingin, menyerap kembali kehangatan dari letusan tadi ke dalam logamnya yang acuh tak acuh. Keheningan yang kembali ke lembah terasa lebih berat, lebih padat, seolah suaraku tadi telah memampatkan semua udara. Maher telah pergi. Aku telah membiarkannya pergi.

Mengapa?

Pertanyaan itu tidak butuh jawaban logis. Ia butuh sebuah cerita. Dan di dalam kesunyian gompa yang membekukan, ingatanku menyajikan sebuah cerita dari masa ketika hujan tidak terbuat dari salju, dan dingin tidak terasa begitu sunyi.

Hamburg. Kota itu menangis tanpa henti. Hujan turun dalam tirai-tirai kelabu yang membuat kanal-kanal di distrik Speicherstadt tampak seperti urat-urat nadi yang murung. Kami telah berada di dalam apartemen pengap ini selama empat hari. Baunya adalah campuran dari debu, kain lembap, dan kopi instan yang diseduh Maher secara kompulsif.

"Aku bersumpah, Rumi," katanya untuk kelima kalinya pagi itu, sambil menggosok lensa teropong spektrum tingginya dengan kain mikrofiber.

"Jika misi ini berlangsung satu hari lagi, aku akan mulai berhalusinasi. Tadi malam aku bermimpi semua burung camar di luar sana berbicara dalam bahasa Farsi dan menanyakan kata sandi Wi-Fi."

Aku tidak menjawab. Aku sedang mengamati target kami, seorang pedagang senjata asal Ukraina—melalui celah kecil di antara dua tirai yang kotor. Maher butuh bicara untuk mengisi kekosongan. Aku butuh kekosongan untuk berpikir. Inilah perbedaan fundamental di antara kami. Dia benci keheningan karena di sanalah iblis-iblisnya mulai berbisik. Aku merangkul keheningan karena di sanalah aku bisa mendengar bisikan iblis orang lain.

"Dan kopi ini," lanjutnya, "rasanya seperti air aki yang disaring melalui kaus kaki seorang tentara. Bagaimana sebuah negara yang menemukan mesin cetak tidak bisa membuat kopi yang layak? Ini pelanggaran terhadap peradaban."

Dia menyebalkan. Dia sangat tahu bagaimana menjadi menyebalkan. Itu adalah mekanisme pertahanannya. Dengan menjadi sumber gangguan yang konstan, dia tidak pernah harus menghadapi gangguan yang ada di dalam dirinya sendiri. Tapi di tengah semua keluhannya, ada sebuah ritme yang familier, sebuah musik latar yang menandakan bahwa dunia masih normal, setidaknya di dalam ruangan 2x3 meter kami.

Tiba-tiba, di headset kami yang senyap, terdengar bunyi statis pelan, diikuti oleh suara dalam bahasa Jerman. Patroli polisi rutin, sedikit di luar rute mereka, mendekati gedung kami. Kami membeku.

Maher berhenti mengoceh. Matanya bertemu dengan mataku. Dalam sepersekian detik itu, tidak ada kata yang diperlukan. Aku menunjuk ke laptop, dia langsung mematikannya. Aku bergerak ke pintu, dia ke jendela, menarik tirai hingga tertutup sempurna. Kami adalah dua bagian dari mesin yang sama, bergerak dalam sinkronisasi yang lahir dari puluhan misi dan pertaruhan nyawa. Ikatan kami ditempa bukan dalam percakapan, tapi dalam keheningan yang sarat bahaya.

Patroli itu berlalu. Kami menunggu lima menit penuh dalam diam sebelum Maher mengembuskan napas panjang.

Lihat selengkapnya