Rumi El Habsy

Oktonawa
Chapter #10

Pesan dalam Keheningan

Keheningan yang ditinggalkan Maher memiliki bobot. Ia bukan sekadar ketiadaan suara; ia adalah sebuah pesan. Selama sisa hari itu dan sepanjang malam berikutnya, aku menunggu balasan. Sebuah tembakan dari kejauhan. Sekelompok operator yang menyisir lereng. Sesuatu. Tapi tidak ada apa-apa. Angin tetap menjadi satu-satunya media pesan, dan ia hanya berbicara tentang kesunyian abadi. Yang bahkan, aku gagal untuk bisa mengerti.

Aku duduk di balkon observasi bintangku, membiarkan dinginnya batu meresap seolah aku adalah bagian darinya. Di atasku, galaksi terhampar seperti tumpahan garam di atas meja mahaluas. Tanpa polusi cahaya, bintang-bintang itu tampak begitu dekat, begitu tajam, seolah aku bisa menggores tanganku di ujung-ujungnya. Para biksu yang membangun tempat ini menatap bintang-bintang ini untuk mencari pencerahan, untuk memetakan jalan menuju nirwana. Aku menatapnya untuk mencari pola pergerakan satelit mata-mata.

Keheningan dari pihak Khan adalah manuvernya yang paling cerdas. Ia lebih menakutkan daripada satu batalion tentara. Keheningan ini berkata, 'Pesanmu diterima. Menarik. Kau ternyata masih memiliki taring. Ini membuat permainan lebih menyenangkan.' Khan tidak akan menghukum kegagalan Maher. Dia akan mempelajarinya. Dia akan menganalisis tembakanku. Sudutnya, jaraknya, targetnya (botol air, bukan kepala)—dan dia akan membangun profil psikologis baru tentang diriku. Musuh yang kukenal telah mati, dan kini sesosok Elvant yang lebih berbahaya dan tak terduga telah lahir. Dia akan menikmatinya.

Dan di dalam keheningan yang memekakkan itu, sebuah lapar yang baru mulai menggerogoti perutku. Bukan lapar akan makanan; daging kering Zabeck sudah cukup untuk itu. Ini adalah lapar yang lebih dalam, lebih mendasar. Lapar akan informasi. Aku butuh data untuk analisis.

Aku buta. Aku adalah seorang raja di atas benteng seluas satu kilometer persegi ini, tapi aku adalah seorang pengemis di dunia di luarnya. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah aku 'mati'. Apakah namaku masih ada di dalam sistem? Apakah Rintizha… apakah dia telah move on, ataukah dia masih mencari jiwaku yang mungkin saja terbang menghapiri? Apakah operasi Sec-SASI di wilayah ini meningkat? Apakah pemain lain seperti Maher sudah berada di lapangan ini?

Aku terisolasi. Dan isolasi, dalam permainan spionase, adalah sebuah hukuman mati yang berjalan lambat. Khan telah menempatkanku di dalam sebuah sangkar tak terlihat, dan tembakanku ke arah Maher hanyalah bunyi lonceng yang kugerakkan dari dalam sangkar itu. Aku harus keluar.

Radio di dalam ranselku terasa seperti sebongkah logam mati. Tanpa akses ke repeater atau sinyal satelit yang aman, menggunakannya sama saja dengan menembakan flare gun di tengah malam buta. Aku butuh internet. Koneksi yang stabil dan jika mungkin—bisa disamarkan.

Ada satu tempat. Sebuah titik kecil di petaku yang selama ini kuhindari. Bukan desa di bawah, tapi sebuah pemukiman yang lebih besar di lembah seberang, sekitar tiga jam perjalanan turun. Tempat itu berfungsi sebagai pos perhentian terakhir bagi para pendaki serius sebelum mereka mencoba menaklukkan puncak-puncak yang lebih ganas. Di sana ada penginapan, ada turis, ada kehidupan. Dan di mana ada turis, di sana ada kebutuhan akan koneksi. Di sana mungkin ada Wi-Fi satelit.

Risikonya sangat besar. Turun dari ketinggian ini berarti menyerahkan keuntungan taktis. Memasuki area berpenduduk berarti memperbanyak jumlah mata yang mengawasi, memperbesar kemungkinan pertemuan acak yang fatal. Tapi risiko dari kebutaan strategis ini jauh lebih besar.

Lihat selengkapnya