Kelumpuhan.
Itulah kata yang paling tepat. Selama beberapa menit yang terasa seperti jam, aku tidak bergerak. Ototku terkunci, bukan karena takut, tapi karena otakku sedang berusaha keras menggambar ulang peta medan perang yang baru saja disobek di hadapannya. Peta lamaku sederhana: aku di satu titik, musuh di titik lain, dan target di tengah. Kini, sebuah titik cahaya ketiga telah muncul, dan geometri sederhana itu telah berubah menjadi sebuah konstelasi yang mustahil, sebuah jaring laba-laba yang ditenun dengan benang-benang tak terlihat.
Aku tidak lagi berada dalam duel. Aku telah tersandung masuk ke dalam sebuah ruangan yang gelap di mana tiga pihak saling menodongkan senjata, dan aku bahkan tidak tahu siapa yang memegang dua senjata lainnya.
Rencanaku untuk menyusup ke klinik menguap menjadi uap dingin di udara malam. Itu adalah rencana untuk dunia yang sudah tidak ada lagi. Prioritas utama bergeser dari infiltrasi menjadi identifikasi. Siapa mata ketiga itu? Apakah mereka mengawasiku? Mengawasi Maher dan jaringannya? Atau mengawasi Annisa? Setiap kemungkinan adalah sebuah labirin baru yang mengerikan.
Malam itu, aku menjadi seorang pertapa yang memuja tiga dewa. Dewa pertama adalah cahaya hangat dari jendela klinik, sebuah simbol kehidupan normal yang harus kulindungi dan sekaligus kucurigai. Dewa kedua adalah kegelapan di punggungan tempat Maher terakhir kali terlihat, sebuah simbol masa lalu yang memburuku. Dan dewa ketiga adalah kegelapan di lereng seberang, tempat kilatan lensa itu lahir, sebuah simbol masa depan yang tak diketahui dan mungkin jauh lebih mematikan. Teropongku bergerak dalam ritme yang ajeg di antara ketiganya, mencoba merajut sebuah cerita dari keheningan.
Aku melihat Annisa keluar sekitar tengah malam. Dia tidak menyapu. Dia hanya berdiri di beranda, memeluk dirinya sendiri sambil menatap langit. Mungkin dia tidak bisa tidur. Mungkin dia merasakan ketegangan yang meracuni udara di lembah ini. Atau mungkin, dia juga sama seperti ku, menyadari ada 'mata' lain yang mengawasi.
Aku memperhatikannya, setiap tarikan napasnya yang mengepul, setiap helai rambutnya yang tertiup angin. Dan aku membencinya. Aku benci betapa normalnya dia, betapa nyatanya dia. Karena kehadirannya membuat permainanku yang penuh kepahitan ini terasa semakin tidak nyata dan gila. Dia adalah sebuah jangkar, dan aku adalah sebuah kapal karam yang talinya sudah lama putus.
Beberapa saat kemudian, Duzha berlari melintasi lapangan kecil di depan klinik, mengantarkan sebuah bungkusan. Mungkin obat—ke salah satu penginapan. Dia melirik ke arah klinik, lalu ke arah pegunungan dengan rasa ingin tahu seorang anak kecil. Dia tidak tahu bahwa dia sedang berlari melintasi sebuah lapangan permainan di mana nyawa adalah taruhannya.
Sebuah rasa mual yang aneh menjalari perutku. Aku telah menggunakan Habshi sebagai umpan. Apakah salah satu pemain lain di sudut lapangan ini juga akan melihat Duzha sebagai hal yang sama?