Rumi El Habsy

Oktonawa
Chapter #12

Jalur Nekat

Kilatan merah itu telah membakar lubang di kegelapan malamku, dan melalui lubang itu, aku melihat sebuah jurang yang jauh lebih dalam dari yang pernah kubayangkan. Aku yakin, aku bukanlah peserta kompetisi ini, atau mungkin aku dipaksa untuk ikut terjerumus kedalamnya.

Sial. Kini, aku adalah seekor semut yang merayap di atas dunia yang tenang namun menyimpang kubangan neraka dari dalam, sementara para dewa yang tak terlihat sedang memindahkan kekuasaan, unjuk kebolehan. Seolah mereka sedang memindahkan gunung, lembah, dan nyawa manusia. Perang pribadiku dengan Khan kini terasa seperti sebuah pertengkaran anak kecil di tengah pertemuan para gangster.

TIKTOK .TIKTOK

Waktu telah habis. Aku tidak punya privilage untuk menunggu, untuk mengamati, untuk menjadi kabut. Kabut akan tertiup angin saat badai datang. Aku harus menjadi petir itu sendiri. Aku harus memaksa masuk ke pusat mesin global ini dan mencuri rahasianya, atau mati saat mencoba.

Rencana baru itu lahir bukan dari kecerdasan, tapi dari keputusasaan murni. Sebuah rencana yang begitu bodoh, begitu nekat, hingga mungkin saja berhasil. Jika aku tidak bisa menyelinap melewati penjaga gerbang, maka aku akan membuatnya membukakan pintu untukku dengan tangannya sendiri. Aku akan memberinya apa yang tidak bisa ia tolak. Aku akan memberinya seorang pasien.

Aku mengeluarkan pisau tempurku dari sarungnya. Bilah baja karbon itu berkilauan dingin di bawah cahaya bintang. Aku menatap lengan kiriku yang terbalut kain termal. Otot-otot yang telah kulatih untuk menahan rasa sakit, untuk menjadi perisai. Kini, aku harus memerintahkannya untuk menerima serangan dari tanganku sendiri. Ini adalah sebuah penghujatan terhadap kuil tubuh yang telah kubangun seumur hidupku. Ini adalah filosofi Khan yang paling murni, yang paling busuk, yang kini kupraktikkan pada diriku sendiri: amputasi untuk menyelamatkan badan.

Tidak ada keraguan. Keraguan adalah kesempurnaan yang cacat. Aku menarik napas dalam-dalam, menahannya, dan dengan satu gerakan yang terkendali dan presisi, aku mengiris bagian luar lenganku. Tidak terlalu dalam hingga mengenai arteri, tapi cukup dalam untuk menghasilkan darah yang banyak dan luka yang terlihat sangat serius.

Rasa nyeri itu datang sebagai sebuah ledakan cahaya putih di kepalaku. Bagai Flash grenade Tajam, bersih, dan jujur. Untuk sesaat, rasa sakit fisik itu membakar semua ketakutan dan paranoia, menyisakan hanya sensasi murni yang membara. Darah panas mulai merembes, menodai kain gelap pakaianku, aromanya yang khas dan metalik memenuhi udara. Bagus. Ini akan terlihat meyakinkan.

Aku merobek selembar kain dari bajuku dan membebat luka itu dengan longgar, cukup untuk memperlambat pendarahan tapi tidak menghentikannya. Lalu, aku mulai berjalan.

Setiap langkah menuruni lereng menuju cahaya klinik adalah sebuah penderitaan dan sebuah doa. Aku tidak lagi bersembunyi. Aku berjalan di tempat terbuka, terseok-seok, menjadikan diriku target yang paling menyedihkan dan paling jelas. Aku bisa merasakan tatapan-tatapan itu di punggungku. Tatapan dari pengamat Khan. Tatapan dari mata ketiga yang misterius. Biarkan mereka melihat. Biarkan mereka menganggapku lemah, terluka, putus asa. Biarkan mereka meremehkanku. Itu adalah satu-satunya perisai yang kumiliki sekarang.

Aku sampai di pintu klinik, tubuhku gemetar—sebagian karena kehilangan darah, sebagian karena ketegangan yang nyaris tak tertanggungkan. Aku tidak mengetuk. Itu akan terlalu kentara. Aku akan membuatnya senatural mungkin. Aku bersandar dengan sisa tenagaku dan membiarkan tubuhku merosot ke pintu kayu itu, menciptakan bunyi gedebuk yang berat dan lemah.

Hening sejenak. Lalu aku mendengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa dari dalam. Kunci dibuka. Pintu terbuka.

Wajah Annisa muncul, diterangi oleh cahaya lampu dari dalam. Matanya melebar ngeri saat melihatku berantakan, kotor, dan berlumuran darah.

"Elvant! Ya Tuhan… apa yang terjadi?"

Kecurigaan apa pun yang mungkin pernah ada di matanya telah lenyap, digantikan oleh keprihatinan murni seorang dokter. Insting penyembuhnya mengambil alih.

"Jatuh," bisikku, kata itu agak serak dan susah payah. "Batu… tajam." Aku membiarkan kepalaku terkulai, memainkan peranku hingga titik darah penghabisan.

"Masuk, cepat masuk."

Dia tidak ragu. Dia memapahku, lengannya yang kuat menopang berat tubuhku. Aku bisa mencium aroma antiseptik dan aroma samar parfumnya. Sebuah kombinasi yang anehnya menenangkan. Dia membawaku ke ruang periksa yang kecil namun bersih, mendudukkanku di atas sebuah ranjang periksa.

Aku berada di dalam, sekarang.

Dunia di luar lenyap. Kini hanya ada ruangan putih yang steril ini, rasa sakit yang membakar di lenganku, dan perempuan ini. Saat dia mulai membuka balutan daruratku dengan tangan yang cekatan dan lembut, aku memaksakan diriku untuk tetap fokus. Rasa sakit adalah sauh. Misi adalah kompas.

Mataku, di antara kedipan karena menahan nyeri, memindai ruangan. Meja kerja. Lemari obat. Dan di sana, di sudut dekat jendela, sebuah kotak kecil berwarna hitam dengan antena yang berkedip hijau. Router satelit.

Bisikan hantu itu ada dalam jangkauan.

Annisa mulai membersihkan lukaku. Sentuhannya profesional, cekatan. Namun, ada getaran kecil di jarinya. Dia terpengaruh.

"Ini luka yang dalam," katanya, suaranya tegang. "Kau bisa saja mengenai arteri. Kau sangat beruntung."

Lihat selengkapnya