Dunia retak. Awalnya adalah getaran di dalam batuan di bawahku, sebuah denyutan yang merambat naik melalui tulang punggungku. Lalu suara itu datang, merobek keheningan fajar yang rapuh dengan brutalitas sebuah mesin.
WOOP-WOP-WOOP-WOP.
Suara bilah-baling yang membelah udara dingin, sebuah gergaji raksasa yang sedang memotong langit. Helikopter. Bukan lagi sebuah kemungkinan. Ia adalah sebuah kenyataan yang memekakkan telinga, sebuah serangga baja yang sedang turun dari surga untuk menghakimiku.
Semua rencana, semua pemikiran tentang Swiss dan Proyek Naga, menguap menjadi debu. Papan catur itu telah dibalik dengan kasar. Aku tidak punya waktu. Aku melesat dari pos pengamatanku, bergerak lebih cepat dari yang kuira mungkin dengan lengan yang terluka. Aku masuk lebih dalam ke dalam perut gompa, menyatu dengan bayang-bayang yang telah menjadi saudaraku selama beberapa hari terakhir.
Batu-batu kuno ini bergetar, seolah mereka pun merasakan ketakutan. Debu dari langit-langit yang berusia berabad-abad turun seperti salju di dalam ruangan.
Lalu cahaya itu datang.
Sebuah sorot lampu yang begitu kuat, begitu putih, hingga ia terasa seperti benda padat. Jari hantu yang menuduh, menyapu reruntuhan dengan kesabaran yang mekanis. Ia menelanjangi setiap sudut, mengubah setiap celah persembunyian menjadi sebuah panggung yang terang benderang. Aku menekan tubuhku ke dinding di balik sisa-sisa patung seorang Bodhisattva yang wajahnya telah lama hancur, menahan napas hingga paru-paruku terasa seperti akan meledak. Cahaya itu melewati tempatku bersembunyi, begitu dekat hingga aku bisa merasakan kehangatan samar darinya, sebelum ia bergerak lagi.
Helikopter itu melayang-layang, seperti seekor capung predator yang mengamati mangsanya. Lalu, dari perutnya yang terbuka, tali-tali hitam turun seperti kaki-kaki laba-laba. Beberapa sosok, empat, lima? Mereka turun dengan kecepatan dan efisiensi yang mengerikan. Mereka mendarat tanpa suara, langsung menyebar, membentuk sebuah perimeter.