“Rin, Bude tunggu di luar, ya?”
“Iya, Bude.” Jawabku sambil sedikit memaksakan senyum.
Hari ini adalah hari yang tidak pernah aku bayangkan selama enam belas tahun hidupku. Meninggalkan rumah dan juga kota yang paling hangat selama aku hidup. Beranjak pergi dari zona nyaman yang membuatku luput kalau hidup ini bukan hanya tentang senang, tapi juga kehilangan.
“Nanti kita ketemu lagi ya, Bu, Ayah. Sekarang Rindu harus pergi dulu. Rindu janji pasti kembali.” Bibirku menyentuh kaca pigora—mengecup mereka secara tidak langsung, sembari memejamkan mata. Seolah menyalurkan seluruh kasih sayang yang aku punya, sebanyak mungkin, sebanyak yang pernah mereka berikan kepadaku. Walau pada nyatanya itu tidak akan pernah sepadan.
Setelahnya, kutaruh lagi pigora cokelat itu di atas meja. Terlalu lama memandangnya ternyata membuat perasaanku jadi semakin sakit. Meski di dalamnya terdapat sebuah foto keluarga yang sedang tersenyum lebar, entah mengapa, itu justru membuat pertahananku semakin runtuh. Mungkin memang benar kata orang, kita harus melepaskan apa yang sudah semestinya dilepaskan, menahannya tidak akan mengubah apapun. Aku sungguh berharap bisa menerima kalimat itu, karena hal semacam itu sangat sulit dilakukan. Sulit sekali.
Selesai menyelesaikan semua urusan yang ada di rumah bercat putih tulang ini, aku keluar dan kemudian mengunci pintu. Sejenak memandang langit, ternyata awan sudah berubah mendung. Ia seakan mengerti dengan baik bagaimana perasaanku saat ini.
“Sudah sedihnya?” tanya Bude saat melihatku keluar lepas menutup pagar.
Aku tersenyum, “Belum, Bude. Sedihnya dijeda dulu.”
Bude mengelus perlahan rambutku menggunakan salah satu tangannya, “Ya sudah. Ayo, masuk mobil.”
Baru saja kakiku akan melangkah, Bude menghentikanku, “Eh, Rin, Bude lupa,” Ia memberikan sesuatu kepadaku, “Ini, tadi Bude nemu jatuh di kolong kasur kamarmu. Barangkali kamu lupa masukin ke koper,”
Aku memandang mainan kayu berbentuk anak laki-laki yang menggemaskan, yang sedang dipegang oleh Bude, lalu sebuah senyuman terbit di bibirku, “Oh, ini pemberian Ayah, Bude. Waktu Rindu umur delapan tahun.”
“Mau dibawa atau ditinggal di rumah aja?”
“Dibawa aja. Makasih, ya, Bude?” aku berterima kasih karena Bude menyelamatkan barang berharga yang hampir saja aku lupakan. Itu adalah hadiah ulang tahun yang Ayah berikan padaku. Ayah memberikannya agar aku tidak pernah merasa kesepian ketika dirinya atau Ibu sedang sibuk bekerja.
***
“Sampai juga kita!” ucap Bude bersemangat sambil tersenyum senang.
Oh iya, kalian belum tahu ya siapa ia? Namanya Bude Ana, kakak kandung Ibuku. Anak pertama dari tiga bersaudara. Ibuku adalah si anak tengah, dan yang terakhir namanya Tante Sitha. Bude Ana baik, seperti kebanyakan orang di bumi ini. Selain itu ia suka melucu, pandai memasak, cerewet, dan sering mengomel, terlebih lagi kepada kedua anaknya—Kak Tari dan Bang Satria.
Bude Ana lahir di Padang, tahun 1968 kalau aku tidak salah ingat. Buda Ana juga bukan orang yang kaku. Bahkan mungkin kelewat gaul, seperti bisa mengikuti zaman dan kebiasaan anak muda sekarang. Dan mulai sekarang aku merupakan tanggung jawabnya. Jadi, dia akan kuanggap seperti ibuku sendiri.
“Jakarta sama bagusnya kok Rin dengan Jogja, banyak cowok gantengnya.” Bude merangkulku saat kami sudah turun dari mobil.
“Contohnya Pakde nih, Rin. Budemu nemunya di Jakarta. Di sini.” Sahut Pakde yang baru saja keluar dari mobil.
“Iya nemu, tapi nemunya terpaksa. Nggak ada pilihan lain.”
“Biar terpaksa yang penting sekarang sayang, kan, Na?”
“Ish! Yuk masuk aja, Rin. Bisa panas telinga Bude kalo kelamaan bicara dengan Pakdemu.”
Aku hanya tertawa melihatnya. Dulu, Ibu pernah cerita padaku tentang kakak perempuannya yang dijodohkan dengan seorang laki-laki asal Jakarta. Sudah pasti yang aku maksud ialah Bude Ana. Awalnya menolak, tapi tidak lama setelah kenalan dengan Pakde, Bude mau juga. Lalu keduanya memutuskan untuk menikah dan menetap di Jakarta hingga saat ini.
***
Jam sembilan malam, aku yang awalnya sudah berbaring di kasur bersiap tidur mendadak tidak ingin memejamkan mata. Rasanya seperti ada banyak pertanyaan yang mengerubungi kepalaku. Kalian pasti pernah mengalami ini juga, di mana malam hari yang sepi selalu bertarung dengan isi kepala yang ramai dan mengganggu. Membuatmu jadi susah tidur. Kira-kira seperti itulah aku saat ini. Akhirnya kuputuskan untuk menuju balkon kamar, sedikit mencari angin. Siapa tahu ampuh untuk menenangkan pikiran?
Mataku menatap hamparan langit gelap, mengamati bulan penuh yang sinarnya selalu bisa mencuri perhatian banyak orang. Tapi tiba-tiba saja angin berembus sedikit lebih kencang. Dan tidak lama gerimis datang. Buru-buru aku masuk ke dalam kamar.
Dari balik jendela kamar yang besar memenuhi dinding dan bersebelahan dengan pintu kaca, aku bisa melihat hujan turun dengan begitu derasnya. Suara rintikannya yang jatuh di atas atap, jalanan, atau tanah selalu terdengar seperti musik paling indah di bumi. Lalu suara lain mengalihkan perhatianku. Suara ketukan pintu.
“Rin, udah tidur?” itu suara Bude. Aku lekas menghampirinya.
“Udah. Rindu udah tidur.” Kataku setelah membuka pintu, yang langsung dibalas raut wajah sebal dari Bude, “Terus, ini kamu lagi ngelindur gitu?”
Aku tertawa kecil, “Bercanda, Bude Cantik. Ada apa?”
“Nih, susu cokelat nggak pake racun. Pasti kamu lagi kesusahan tidur, kan?” ucap Bude sembari menyodorkan gelas untuk kemudian aku ambil.
“Kok tau Rindu lagi susah tidur?”
“Keliatan dari wajahmu, Rin. Kayak orang yang galau gara-gara dijodohin padahal punya pacar.”
“Bude lagi ngomongin diri sendiri?”
“Heh, kok tau kamu? Pasti ibumu pernah cerita, ya? Ah, jadi malu Bude rahasianya kebongkar gini. Udah sana masuk, minum susu terus tidur. Besok bangun pagi, jangan sampe kesiangan.”
Aku mengangguk, “Iya, Bude, makasih udah dibuatin susu.” Setelah Bude pergi aku segera menutup pintu, lalu duduk di atas kasur sambil menggenggam erat gelas yang terasa hangat.
Setiap kali aku merasa susah tidur, Ibu selalu membuatkan susu cokelat untukku. Dan susu buatannya selalu berhasil mengantarkanku ke alam mimpi. Tapi kali ini, dan mulai hari ini sepertinya kebiasaan itu akan diambil alih oleh Bude Ana. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan itu, hanya saja aku merasa takut kalau ini tidak berhasil membuatku terlelap seperti dulu. Karena apapun yang dilakukan Ibu tidak akan pernah sama jika orang lain yang melakukannya. Tidak, mungkin tidak hanya Ibu, tapi semua orang yang biasa melakukan suatu hal tertentu, tidak akan bisa digantikan oleh siapa pun sekeras apapun mereka mencoba.
“Ada apa, Rin? Kok, nggak diminum?”
Aku menoleh ketika mendengar suara seseorang di sampingku. Suara yang begitu menenangkan. Ibu.