Semesta, hidup ini sebenarnya tentang apa? Apakah semua pertemuan harus berakhir dengan perpisahan? Atau kah pertemuan dan perpisahan memang diciptakan berpasangan? Harus kuterima seberapa banyak lagi rasa kehilangan ini? Seolah waktu selalu meledekku yang terus saja ditinggalkan oleh orang-orang yang aku sayang. Seolah waktu memaksaku untuk tetap bertahan seperti orang bodoh yang tidak punya tujuan.
Kemarin, merupakan hari perayaan kelahiran sekaligus kematian. Tapi, konyol jika kematian harus dirayakan. Entahlah, apa kalimat yang tepat untuk menjelaskannya. Aku menatap Lintang yang ada di seberang. Dalam pikiran dan hatiku timbul perdebatan baru. Mungkin, Lintang selanjutnya. Selanjutnya yang akan pergi jauh.
Untuk terakhir kali aku menatap pusara yang ada di hadapan, bukan untuk menangisinya, hanya menatap. Bisma, namamu akan selalu aku bawa. Karena semua hal tentangmu sudah mendarah di dalam tubuhku. Semoga suatu hari nanti kita bisa bertemu kembali. Di alam yang lain. Di tempat di mana kebahagiaan tidak lagi terbatas.
Lantas aku beranjak meninggalkan pemakaman, “Menurutmu, orang jahat di dunia ini seperti apa, Tang?” Lintang diam saja, tidak berniat menjawab pertanyaan anehku.
“Mungkin bukan hanya pencuri dan pembunuh saja yang bisa disebut sebagai penjahat... karena penjahat yang sesungguhnya ialah orang-orang yang menyia-nyiakan kesempatan dan pada akhirnya cuma bisa menyesal. Berpikir bahwa waktu tidak akan berlalu terlalu cepat. Berpikir bahwa kita bisa mengendalikan segalanya. Dan mungkin salah satu orang itu adalah aku.”
“Kamu bukan orang jahat, Rin,”
“Lalu, siapa yang jahat? semesta? takdir?”
“Rin, semua yang terjadi di dunia ini sudah direncanakan. Tidak ada yang salah, dan jangan pernah menyalahkan dirimu.”
Aku menghentikan langkah kaki lalu menatap Lintang tajam, “Harusnya kamu membantuku, Tang. Kamu sendiri yang bilang mau mempertemukanku dengan Bisma kemarin. Tapi yang terjadi justru aku menghabiskan hari denganmu sampai lupa waktu!”
“Rin, aku nggak berniat—”
“Andai kamu nggak membawaku ke tempat yang jauh, mungkin kita akan tiba tepat waktu, dan Bisma masih ada di bumi ini sekarang!” bentakku. Kehilangan Bisma membuatku lepas kendali. Walaupun melampiaskan amarah kepada Lintang tidak akan merubah apa-apa, tapi aku tetap memarahinya seolah-olah ini adalah kesalahannya.
“Rin, tunggu!” teriak Lintang yang melihatku menjauhi tempat di mana mobil terparkir, “Kamu mau ke mana?” tanyanya seraya memegang pergelangan tanganku.
“Jangan ikuti aku!”
“Tapi kamu mau ke mana? mau aku antar?”
“Tang, aku udah enam belas tahun hidup di kota ini. Jadi berhenti mengkhawatirkanku!”
***
Tanpa Lintang, aku kembali datang ke Pantai Kesirat, tempat di mana Bisma menunggu kedatanganku selama ini dalam waktu yang tidak bisa dipastikan.
“Bisma, mengapa kamu menuruti ucapanku untuk pergi dari hidupku? mengapa?”
Semilir angin datang menyapaku, pun dengan debur ombak yang terus saja bersuara. Kini Bisma sudah tidak ada lagi. Tidak kusangka pertemuan terakhirku dengannya berujung di rumah sakit, bahkan tanpa bisa berbicara langsung dan menatap padanya. Jakarta hari itu, hari di mana ia berpamitan denganku, itu juga adalah akhirnya. Terakhir kali aku melihat dirinya secara utuh. Dan kini aku tidak bisa lagi bertemu atau sekadar melihat keadaannya. Tidak akan pernah bisa. Waktu sudah merenggut dirinya.
“Kamu datang, Rin?” suara seseorang muncul memecahkan lamunanku. Kepalaku menoleh. Bisma hadir di sampingku. Sedang duduk di pasir putih pantai sembari memegang bunga mawar putih. Aku yang sedang berdiri tegap berusaha menyadarkan diri. Bahwa ini semua hanya ilusi. Sejenak kupejamkan mata, agar bayang-bayang Bisma hilang dari pikiranku. Dan kemudian, saat mataku kembali terbuka, ia sudah tidak ada. Namun masih ada yang tersisa,
“Mawar putih...” ucapku lirih sembari memunguti beberapa tangkai bunga mawar yang sebagian sudah layu.