Selayaknya debu yang lesap di hapus hujan, maka seperti itu lah bagaimana Lintang menghapus semua kepelikan yang melingkupiku selama ini. Setelah kepergiannya seminggu yang lalu, kini hari-hariku terasa sepi dan hampa.
Sesabar apapun Lintang, ia tetaplah manusia biasa yang memiliki rasa lelah. Harusnya aku menyadari perasaanku lebih dalam. Harusnya aku bisa melihat semua pengorbanan yang Lintang lakukan. Maka mungkin ia tidak ikut-ikutan pergi dari hidupku seperti sekarang.
Aku tetap mencintaimu, Rin. Tapi aku tidak akan berharap kamu akan membalas perasaan itu. Kalau memang bahagiamu tidak ada padaku, maka semoga kamu bisa menemukan bahagiamu yang kamu inginkan.
Sederet kalimat yang Lintang tuliskan di kertas yang ia bentuk perahu sebelum ia benar-benar meninggalkanku itu sungguh membuatku ingin menangis kalau tidak tahu malu dan tempat.
Untuk mengobati kerinduanku akan Lintang, aku datang ke taman tempat pertama kali aku bertemu dengannya di Jakarta. Seperti delapan tahun lalu, aku duduk di gazebo taman sembari memegang tali balon berwarna merah. Aku ingin mengirimkan harapan terakhir yang tidak kuharapkan akan terwujud. Karena aku tahu bahwa aku sudah melakukan banyak kesalahan. Jadi aku merasa tidak pantas untuk menerima hadiah apapun dari semesta.
Beriringan dengan suara anak kecil yang bermain di sekitar area taman, perlahan aku memejamkan mata. Lalu melontarkan permintaan untuk semesta dengan sungguh-sungguh.
Semesta, sebelum aku mengirimkan permintaan terakhirku, aku ingin minta maaf karena sudah mengabaikan Lintang yang mencintaiku. Maaf untuk semua yang sudah aku lakukan. Di harapan yang terakhir ini, aku hanya ingin minta untuk kau menjaganya. Memberikan kebahagian yang pantas ia dapatkan. Hanya itu.