Dyo
Orang orang bilang cinta bisa datang karena terbiasa, tapi sayangnya itu tidak berlaku buat Dhara ke saya. Entah seberapa keras saya melindungi dia, menjaga dia, Dhara tetap tidak bisa melihat saya seperti saya melihat dia.
Saya di mata Dhara tidak lebih dari seorang sahabat. Tidak peduli seberapa keras saya berusaha mati matian untuk lebih dari itu ... Tetap saja saya tidak bisa. Karena saya tidak akan pernah bisa berada di posisi itu.
Gema Akbar Maulana, binatang yang setiap hari selalu memiliki 1001 tingkah anehnya. Saya hanya bisa memendam perasaan saya selama 7 tahun, karena saya tahu .... Dhara tidak akan pernah memandang saya seperti Dhara memandang Gema.
"Ngapain Lo?" Saya menoleh ke arah suara, seekor binatang membawa siomay berjalan mendekati saya. "Capek banget gue udah tinggal nunggu UN tetep jadi ketua OSIS. Emang susah sih kalo jadi ganteng." Aidan dan kesombongannya.
"Ngapain Lo sendirian di sini?" Ulangnya dan saya masih diam, malas menanggapi sebuah pertanyaan yang tidak perlu saya jawab. "Gue sumpahin pulang sekolah ban motor Lo meledak terus Lo masuk selokan dan makan tai."
Bajingan.
"Don't you have eyes? Gue rasa tidak." Jawab saya dengan santai, saya rasa jika kera di samping saya mempunyai mata, dia tidak akan bertanya apa yang sedang saya lakukan, karena sudah sangat jelas bahwa saya sedang membaca buku.
"Don't you have eyes, don't you have eyes gue kokop juga pala lo." Jawabnya sambil melempar buku saya. Dasar bajingan merepotkan. "Lo tau fakta apa yang paling gue benci?" Tanya saya sambil mengambil buku yang tidak jauh kera itu lemparkan.
"Apa? Kalah ganteng sama gue? Pasti sih itu, soalnya gue emang ganteng ga ada tandi-"
"Fakta bahwa Lo masih hidup."
"Bangsat Lo cebol biadab." Teriaknya sambil berlari mengejar saya. "Asli congor Lo perlu les private di Cakung!" Teriaknya kembali karena saya masuk kelas dan duduk di sebelah Gema.
"Eh Lo ngapain nyet ngejar Dyo? Ngefans Lo?" Saya tertawa, berada di dekat Gema saat Aidan mengamuk adalah kunci keselamatan saya, karena Aidan akan beralih mangsa. "Tai! Sini gue amplas congor Lo!" Aidan menarik rambut Gema dan Gema menarik telinga Aidan.
Mission completed.
Cukup lama ... Sampai akhirnya mereka berhenti karena Dhara memukul kepalanya satu persatu. "Lo berdua umur berapa sih? Udah tua juga kelakuan masih bocah. Bisa ga sehari aja akur?" Marahnya sambil berkacak pinggang. Salah satu hal yang saya sukai dari Dhara adalah kelembutannya ... Walaupun Dhara sedang marah, suaranya masih lembut dan terdengar nyaman di telinga.
"Sorry Ra ... Si tai duluan ngejambak gue." Gema bersuara membela diri. Saya melihat Dhara menghela napasnya panjang sebelum kembali tersenyum. "Dan Lo ga minta maaf ke Gema?"
"Nanti kalo udah botak gue bakalan minta maaf."
"Tai Lo."
Saya hanya memperhatikan mereka bertiga. Sebenarnya kejadian seperti ini sudah makanan sehari-hari ... Mungkin hari ini Gema dengan Aidan, besok Bima dengan Geo. Dan saya akan selalu menjadi target mereka ....
"Heh monyet! Pak Toyo udah di kelas ayo masuk." Suara Bima menginterupsi kami, Pak Toyo adalah guru Bahasa Indonesia yang pelit nilai, jika kami telat masuk kelas maka nilai kami taruhannya ... Mendengar nama keramat tersebut saya dan Aidan langsung berlari keluar.
Saya, Bima dan Aidan berada di kelas yang sama yaitu kelas A. Sedangkan Dhara, Geo dan Gema berada di kelas B. Sekolah kami menerapkan sistem abjad untuk rangking paralel ... Jadi jika ingin tetap berada di kelas A kalian harus rajin belajar dan mempertahankan nilai. Lalu kenapa Dhara berasa di kelas B?
Karena Gema.
Dhara sangat menyukai Gema ... Sangat amat. Walau Dhara sudah berhenti menunjukkan perasaannya secara terang-terangan di hadapan Gema semenjak kami mengetahui hal itu. Tapi sebenarnya saya tahu .... Saya tahu jika Dhara masih sangat menyukai Gema.
Bagaimana Dhara memandang Gema, bagaimana Dhara berbicara dengan Gema, bagaimana ekspresi Dhara saat ada Gema, dan bagaimana perjuangan Dhara masuk kelas B demi duduk di samping Gema setiap harinya.
Saya tidak marah dengan apa yang dilakukan oleh Dhara, dan saya juga tidak membenci Gema. Bagi saya kebahagiaan Dhara lebih penting daripada perasaan 7 tahun saya. Bahkan saya sering memohon kepada Gema agar bisa membalas perasaan Dhara.Walaupun jawaban Gema selalu sama.
"Ogah! Aneh Lo! Harusnya Lo berjuang buat dia bukan malah mohon ke gue buat balas perasaannya tai."
I begged him to watch a movie with Dhara, Dhara membeli dua tiket agar dapat pergi berdua dengan Gema. "I beg you, just once."
"Just once just once gigi Lo, kemarin juga Lo bilang gitu, nyatanya ini udah hampir 3 tahun!" Gema menyeruput kuah baksonya sampai habis, dan saya masih menatapnya berharap Gema akan menuruti permintaan saya kembali.
"Lo ga capek?" Bima bertanya, "Lo ga capek mendem perasaan Lo 7 tahun?" Lanjutnya sambil menatap saya cukup tajam.
"Gue gatau pola pikir lo gimana, tapi gue yang ngeliat Lo having to beg a bastard like Gema gue jadi kasian." Saya hanya menghela napas mendengar ucapan Bima, pandangan saya beralih ke Geo, Aidan, dan Gema. "Gue hanya ingin Dhara bahagia. Kalau memohon ke Gema menjadi satu satunya cara membahagiakan Dhara. Gue akan melakukan hal itu setiap hari."
"Lo tuh dongo apa bego sih? Confess tai! Ungkapin perasaan Lo ke Dhara biar dia juga bisa ngeliat Lo! Dhara gatau perasaan Lo ke dia itu apa, kalo Lo diem aja nyet!" Kali ini Aidan yang bersuara. "I can't be honest about my feelings."