Dyo
"Untuk apa kau pulang?"
Kata sambutan yang keluar dari mulut seorang pria berusia setengah abad setelah tidak pernah pulang ke rumah selama empat bulan, "Seharusnya saya yang tanya anda, saya kira anda sudah tidak ingat jalan pulang."
"Shut the fuck up! You and your mother are both shameless."
"Your wife and you are shameless, pantas saja kalian menikah, anda gila perempuan dan istri anda gila pria."
"Heh bajingan! Saya membesarkan anda untuk menjadi anak yang berguna seperti Audrio bukan menjadi bajingan tidak tahu malu sepertimu." Pria itu menghampiri saya dan memukul wajah saya sangat keras, hal biasa di rumah saya, bahkan sudah seperti makanan sehari-hari selama bertahun-tahun. "Kau dan ibumu itu sama saja, menyusahkan!"
Saya hanya diam, sekali lagi saya tekankan ... Hal seperti ini sudah biasa di rumah saya. Pria tua di depan saya dan istrinya hanya kluyuran tidak jelas dan pulang membawa orang asing untuk bercinta bahkan di depan anaknya selama bertahun-tahun. Mereka berdua memang tidak punya akal sehat.
Seorang pria memasuki rumah dengan setelan jas berwarna hitam "Iyo are you okay?" Ia memegang wajah saya yang terlihat lebam dengan ujung bibir yang berdarah. "Pah! Sudah berapa kali Audrio bilang stop tampar dan pukul Dyo! Kali ini papah pukul Dyo dengan tongkat bisbol!?"
"Untuk apa kau membelanya? Anak tidak berguna seperti dia memang pantas dipukuli, kalau bisa lebih baik mati saja."
"Dyo itu adik saya pah! Kalau papah tetap ingin saya bekerja untuk semua perusahaan papah stop menyiksa Dyo! Kalau papah pulang hanya untuk menyiksanya lebih baik papah tidak pernah kembali ke sini lagi!" Audrio adalah anak kesayangan dia dan istrinya, Audrio yang selalu mengurusi semua perusahaannya dengan sangat baik sejak usianya 17 tahun. Audrio itu jenius, oleh karena itu mereka sangat membanggakan dirinya ... Tidak seperti saya yang tidak berguna.
"Kau jalang! Kau ajarkan apa pada Audrio sampai dia berani dengan saya!?" Tatapannya semakin tajam seperti ingin membunuh saya detik ini juga, cengkraman pada tongkat bisbolnya juga semakin erat. "Audrio mohon kalau papah masih ingin Audrio mengurusi semuanya, jangan pernah datang ke sini pah, jangan ganggu Dyo."
"You’re such an asshole." Setelah puas mengumpati saya, pria itu keluar meninggalkan rumah mewah ini dan menyisakan saya berdua dengan Audrio. "Kenapa Lo selalu membela gue? Apa karena gue terlihat menyedihkan?" Saya menepis lengan yang berada di bahu saya dan berjalan menuju kolam renang di belakang rumah.
"Karena gue sayang sama Lo, Lo adek gue satu satunya Iyo." Saya benci nama saya, Diana Yoshua, persetan dengan kedua nama bajingan itu. Saya benar benar sangat membenci nama saya. Pria di depan saya tersenyum mengeluarkan kotak P3K dan mulai mengobati saya dengan teliti. "Lo orang yang paling gue sayang di dunia ini Yo ... Apapun keadaannya gue bakalan selalu melindungi Lo."
"Untuk apa Lo melindungi orang yang tidak berguna seperti gue?" Audrio justru mencubit pipi kanan saya pelan, dasar aneh. "Lo kalo mau bilang sayang juga bilang aja ga perlu gengsi gitu." Saya hanya diam, saya memang sangat menyayangi Audrio melebihi diri saya sendiri ... Hanya saja saya tidak ingin mengungkapkannya. Alasan saya masih hidup adalah Audrio, Dhara dan sahabat saya.
"Lo mau makan? Gue teraktir sushi sepuasnya." Dia berdiri dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, "Tapi ganti baju Lo dulu, gue gamau ajak Lo keluar pake seragam sekolah ... Gue tunggu di ruang tamu ya?"
Saya tersenyum, tingkah Audrio selalu seperti itu, menganggap saya anak kecil. Usia kami terpaut jauh yaitu 11 tahun. Di usia saya 16 tahun saat ini, dan Audrio bulan depan akan menginjak usia 27 tahun.
"Kenapa Lo harus habiskan waktu Lo di perusahaan dia? Impian Lo menjadi pilot bukan berada di perusahaan batu bara."
"Lo ga perlu khawatir soal mereka ataupun impian gue, gue kerja bukan demi mereka. Gue itu abang Lo ... Gue kerja buat ambil saham untuk Lo, gue yakin Lo bakalan butuh itu di masa depan kalau gue ga ada." Saya diam membisu dengan kepala saya yang penuh pertanyaan, mengapa Audrio mengambil saham perusahaan untuk saya dan atas nama saya? Mengapa Audrio berbicara hal itu akan berguna untuk saya di masa depan jika Audrio tidak ada? Memang dia akan pergi kemana? Audrio akan selalu ada di sisi saya bukan?
"Lo akan selalu ada di sisi gue, jadi tidak perlu Lo bicara begitu." Audrio mengacak-acak rambut saya sambil tersenyum ... Saya bisa apa tanpa Audrio? Tidak ada.
Saya memperhatikan Audrio yang menikmati sushinya, dia bilang akan meneraktir saya tapi faktanya justru dia yang menghabiskan semuanya, "You eat like a hungry pig, doesn't anyone cook for you there?" Audrio selalu makan masakan saya setiap harinya, bahkan saat dia sibuk kerja di kantor saya akan mengirim bekal untuk dia makan. Tetapi dua bulan terakhir ini Audrio harus berada di Pulau Laut, Kalimantan Selatan sendirian ... Jadi saya kira mungkin Audrio sering melewatkan jam makannya karena istrinya terlalu sibuk mengurusi bayi mereka untuk mengingatkan Audrio makan.
"Go or I’ll kick your ass!" Audrio memukul kepala saya pelan dengan sumpitnya dan kami tertawa. Menghabiskan waktu berdua dengan Audrio adalah hal yang sangat saya sukai ... Walau saya tidak memiliki peran orang tua saat memasuki sekolah dasar, tapi Audrio ... Audrio selalu merawat dan memastikan saya selalu baik-baik saja.
"Hahahaha." Saya kembali tertawa dan memesan sushi untuk ketiga kalinya, saya rasa Audrio memang kelaparan. "Bagaimana kabar teman teman Lo?" Audrio memulai percakapan ringan dengan saya sambil menikmati sushinya.
"Seperti biasanya ... Kenapa Lo memberi gue nama Dyo?"
"Lo membencinya?"
"Sangat ... Gue sangat benci ketika gue tahu kalau Dyo adalah kepanjangan nama mereka." Saya berterus terang setelah beberapa tahun hanya diam menahan semuanya sendiri, "Kata siapa nama Lo kepanjangan dari mereka? Gue memberikan nama itu untuk Lo karena maknanya perdamaian dan bijaksana." Saya diam, jadi selama ini nama saya bukan kepanjangan dari mereka? Lalu mengapa mereka bilang seperti itu dulu kepada saya?
"Bukannya Lo yang mengajarkan gue untuk ga cepat menilai sesuatu hal? Kenapa justru Lo begitu?"
Saya diam membisu, saya tidak dapat menjawab pertanyaan Audrio, "Iyo make your own happiness. Don't think about our parents' lives. Lo menyimpan semua luka Lo jauh di dalam diri Lo, dan Lo ... Kepala Lo penuh dengan semua pertanyaan mengapa mereka menjadi seperti itu padahal sebelum Lo memasuki sekolah dasar mereka sangat akur. Maybe you are confused, but that's how we are ... They never loved each other, even when I was a child, they always brought strangers to make love."
Saya berusaha sekuat tenaga untuk menelan ludah saya sendiri mendengar pernyataan Audrio, "Mereka selalu begitu, dan akan selalu begitu. Jadi jangan pernah memikirkan mereka, cukup pikirkan diri Lo sendiri dan kebahagiaan Lo. Lakukan semua hal yang Lo inginkan dan gue akan selalu mendukung Lo."
"If they don't love each other, why did they get married? Mengapa mereka menyusahkan diri sendiri dan menghancurkan anaknya?"
"They were betrothed. I know you're hurt, but if you want to get better you have to stop touching it. Seperti luka lebam di tubuh Lo, ketika Lo menyentuhnya Lo akan semakin sakit. Sama seperti hidup kita, hidup Lo akan selalu sakit kalau Lo selalu memikirkan dan menyentuh luka Lo setiap harinya. Just leave it Iyo ... Never go back to that house."
Saya selalu mempertahankan rumah mewah yang berada di Jakarta Barat berharap suatu saat kami kembali menjadi keluarga, keluarga normal pada umumnya. Tapi bertahun-tahun yang saya alami hanyalah hal menyakitkan, pria berusia 54 tahun yang membawa wanita berbeda setiap harinya, dan seorang wanita berusia 50 tahun yang juga membawa pria yang berbeda setiap harinya. Saya tidak ingin menyebut mereka sebagai orang tua.
Harapan saya setiap tahunnya selalu sama, tetapi setiap tahunnya harapan saya semakin kecil. Maybe ... Maybe we'll never be a family again. Audrio selalu meminta saya untuk meninggalkan rumah tersebut tetapi saya justru memilih untuk tinggal di sana seorang diri, I don't want to forget my happy little memories. Audrio selalu menyempatkan datang setiap harinya untuk menemui saya, terkadang saya akan tinggal di apartemen Audrio bersama istri dan anaknya jika saya sudah bermimpi buruk berhari-hari. Trauma itu .... Trauma itu tidak pernah pergi apalagi hilang, trauma itu selalu saya bawa kemanapun saya pergi.
...
Dhara
Gue bersumpah waktu yang gue habiskan bersama Gema adalah waktu yang paling berharga untuk gue. Gue merasa gue nyaman dan aman saat ada di sekitarnya ... Gue gatau awal mula kenapa gue suka Gema, kenapa gue jatuh cinta dengan Gema.
Dia membelikan gue bunga mawar merah dari seorang ibu tua yang berjalan kaki setiap harinya berkilo-kilo meter saat kita sedang makan. Awalnya gue gatau kenapa Gema membelikan gue bunga, sampai akhirnya dia menjelaskan, "Sorry Ra, gue cuma ngasih Lo bunga setangkai ini. Bukan maksud gue ga menghargai Lo karena gue ga memberi Lo bunga di toko yang mahal. Tapi Tuhan menitipkan sebagian rejeki gue untuk ibu tadi."
Walau Gema hanya memberi gue setangkai mawar merah, tapi Gema mengajak ibu itu makan bersama dan mengobrol, bahkan tidak menerima uang kembaliannya yang menurut gue bisa digunakan untuk membeli bunga lebih dari itu. Kebaikan Gema mungkin menjadi salah satu alasan gue jatuh cinta ke dia.
Gema itu hampir sempurna, kekaguman gue soal Gema ga akan berakhir gitu aja deh kayaknya haha, gue gatau kenapa gue bisa sejatuh itu pada Gema di saat gue tahu dia playboy. Bahkan gue menyukai Gema dari 2015 saat Gema berpacaran dengan Sarah, hubungan mereka ga bertahan lama, hanya 16 bulan. Semenjak itu Gema ga pernah menjalin hubungan dengan siapapun.
"Bunga dari siapa?" Gue hampir terjatuh dari kasur waktu Dyo masuk ke kamar dan menatap mawar gue cukup lama, "Dari Gema. Sumpah ya Diyooo gue semakin jatuh cinta deh kayaknya sama Gema haha."
Dyo tersenyum dan memasukkan mawar gue ke dalam gelas berisi air yang dia bawa, "Kalau begitu seharusnya Lo merawat bunga ini dengan baik."
"Bibir Lo kenapa!?" Gue langsug menghampiri Dyo dan memastikan keadaannya, kayaknya si tua itu ada di rumah. "Dia balik cuma buat mukul Lo!? Gue gamau Lo di rumah itu selama dia di sana. Lo nginep di sini aja ya? Atau mau ke studio biar gue temenin?"
"Gue akan ke rumah Aidan. Lo tidak perlu mengkhawatirkan gue." Selalu angkuh, Dyo selalu merasa bisa menangani semuanya sendiri tanpa gue. Saat gue yakin dia ga baik baik aja Dyo bakalan pergi ke studionya di dekat taman Suropati atau pergi ke rumah Aidan di Menteng.
"Lo udah makan?" Gue bertanya, "Sudah dengan Audrio tadi." Audrio Zevan, kakak kesayangan Dyo yang menikah 3 tahun lalu, sebelum Dyo masuk SMA mereka masih tinggal bersama di rumah terkutuk itu, tapi semenjak Audrio menikah ia dan istrinya tinggal di apartemen. Dia ga ninggalin Dyo tapi Dyo yang emang gamau keluar dari rumah angker itu.
"Bagaimana kencan Lo dua hari lalu? Lo bahagia?" Gue mengangguk mantap dan memegang lengan Dyo, "Menurut Lo Gema suka sama gue ga?" Pertanyaan gue dibalas senyuman oleh Dyo, mungkin tandanya iya? Gue juga gatau pasti karena Dyo susah untuk ditebak.
"Lo mau ikut gue?" Gue menatap bingung Dyo yang tiba tiba menawarkan gue untuk ikut ke rumah Aidan, "Apa ga aneh kalo gue di sana?" Gue takut perasaan gue keliatan jelas untuk Gema, gue belum siap jika ditolak atau orang lain selain Dyo tau soal perasaan gue.
"Kenapa aneh? Bukannya kita sudah berteman dari 2012?"
Iya juga ya ... Kenapa gue harus ngerasa aneh? Gue sama mereka kan udah berteman lama, seharusnya gada yang bakalan mikir gue ada rasa buat salah satu dari mereka, kalaupun ada kemungkinan mereka anggap gue suka Dyo? Karena dibanding dengan yang lain gue lebih dekat dengan Dyo ... Mungkin karena kita seumuran?
"Kalau Lo mau ikut I'll pick you up this afternoon supaya nanti Lo pulang tidak terlalu malam." Gue memanyunkan bibir gue, sebenernya gue pengen banget ketemu Gema lebih lama, tapi ada daya kalo cowok gondrong di depan gue udah bersabda ga bisa diganggu gugat. "Kenapa ga sekarang aja? Biar lebih lama di sana."