Rumah demi rumah sudah disapa mereka yang mengaku akan menghadapi olimpiade internasional di penghujung tahun ini. Entah kenapa pihak panitia memasang waktunya di bulan yang dingin itu. Di Pangkalpinang memang bukan masalah, karena daerah tropis hanya diberi jatah dua musim saja. Yang mereka takutkan hanya ketidakmampuan dalam menahan gempuran suhu minus sekian derajat di daratan Eropa.
Pak Ghana, pembimbing olimpiade sains SMA Karya Nusa yang telah mengecap asam garam, pahit getir, dan kembang kempis nya menjalani kehidupan di daratan Eropa. Tepatnya di Berlin yang seringkali bersinggungan dengan kerasnya hujan es dan merosotnya termometer Fahrenheit hingga merambat pada kepribadian orang-orang di sana. Diam-diam Andra mencari tahu akan kehidupan masa lalu Pak Ghana sampai beliau menginjakkan kaki di sana. Banyak memang orang Indonesia yang sudah bersua ke tempat orang Barat, namun tidak ada yang segetir perjuangan beliau.
Mulai terseok-seok dari perantauannya dari tanah Minang, menuju Ambon tanpa ada keluarga yang menyambut hangat. Sedari usia 12 tahun beliau sudah ditinggalkan kedua orang tua yang menyebabkan beliau harus rela merasakan suasana panti asuhan. Tiada siapa yang mau mengunjungi. Belakangan diketahui orang tua beliau ingin berjuang sendiri dan menghindar dari hiruk pikuk kejam kelam kehidupan perkotaan.
Dan hasilnya? Pak Ghana yang harusnya menjadi penerus kehidupan glamor kakeknya dengan aset yang bisa habis sampai 10 turunan malah mengantar nyawa di lahap kehidupan jalanan. Untung, beliau diantarkan tetangga yang tak kenal pamrih menuju rumah perawatan anak yang tak nihil orang tua.
“Nak, jangan engkau tiru kelakuan kedua orang tua mu, jangan pula engkau mengumpat akan mereka, tapi…” pesan yang teduh meluncur lembut dari si tetangga itu dengan bekal uang lima ratus ribu rupiah juga tak lupa diantarkan untuk berjaga-jaga.