Tulis, hapus lagi. Tulis, hapus lagi. Catat-mencatat telah dilakukan dalam kegiatan belajar mengajar selama berpuluh-puluh tahun. Secara modern, kertas memang digunakan untuk menutup rapat-rapat masa jahiliah manusia. Tapi, berbicara soal modern, bukanlah hal yang tabu kalau sudah melupakan benda usang itu dan digantikan oleh sesuatu yang disebut teknologi.
Lambat laun, benda-benda beralaskan nama teknologi itu merampas hak milik dan hak keberadaan kertas, mesin tik, ingatan, dan tangan untuk menulis manual. Buat apa? Memperpendek jarak dan waktu saat ingin menghasilkan sesuatu melalui benda yang disebut teknologi ini bukanlah hal yang haram. Malah, harusnya berterima kasih dan ucapkan selamat tinggal pada sesuatu yang berbau konvensional. Lantas, hal itu mungkin juga bakal diterapkan pada sekolah idaman para pelajar-pelajar berbakat yang ilmunya masih belum satu standar dengan batas terapan dari sekolah ini.
Dalam perbendaharaan ruangan sekolah, kelas menjadi satu hal esensial yang menjadi mutiara di atas awan bagi kaum proletar ilmu. Keinginan setiap pelajar dengan kategori tertentu untuk menjadi bagian dari sekolah ini. Namun pada dasarnya keinginan itulah yang menjadi kelemahan pelajar yang tak siap risiko dan tekanan batin yang bakal diterima setelah masuk ke gerbang neraka ini.
Sebaliknya, bagi mereka yang tak menaruh harapan banyak untuk mendapatkan bangku sekolah itu malah langsung dengan mudahnya, ya dengan mudahnya merengkuh kursi panas pesakitan pelajar idola se kepulauan semenjana yang dibelah Selat Gaspar antara Pulau Sumatera bergandengan dengan Pulau Bangka.
Mereka bukan merasa tersiksa ataupun tercekik dengan kondisi yang ditawarkan oleh kelas unggulan. Sebanyak enam kelas lain menjuluki isi ruangan ini kelasnya orang aneh. Yang di otak mereka hanyalah belajar, belajar, dan belajar. Apa itu benar?
Introduksi atau mukaddimah orang-orang aneh akan tertulis disini… Bersiaplah.
Kuat dalam bidang ilmu, juga di bidang fisik, merekalah kelas XIIA1. Tak ayal, pihak oposisi yang menghadapi mereka harus memutar otak lima kali baru dapat sejajar dengan frekuensi dialog mereka. Candaan cerdas, bukan lawakan yang berakhir nahas seperti dengan membawa fisik atau menyatakan kata-kata tak pantas untuk di share ke khalayak ramai. Serba salah. Candaan cerdas belum dikenal publik, sedari dulu ini paling banter disebut Stand Up Comedy. Tertawa harus berfikir terlebih dahulu. Tidak cocok untuk kategori orang yang masih pakai helm.
Patokan awal dimulai dari insiden konflik pemilihan ketua kelas orang aneh dua minggu belakangan. Calon kuat yang berhasil ditarik suaranya dengan tanpa mengajukan diri sebagai pemimpin kelas orang aneh ini: Ayu Hastri Ananta dan Indrianti Syakil. Wali terlama yang punya kesabaran tingkat tinggi karena menangani, menerima, dan mendidik egoisme orang-orang pintar di ruangan pengap ilmu itu, Pak Syafi’ie tebelalak dengan seribu kata terhempas semuanya.
“Kenapa tak ada kaum Adam?” tanya beliau pasrah dan lemas.
“Sebenarnya saya mau, Pak.” sumber suara melankolis namun nampak eksotis terserap ke telinga pelajar-pelajar perfeksionis yang kini mengarahkan pandangannya ke orang yang selalu puitis.
“Kamu yakin, Jek?” tanda tanya besar tercetak dari air muka dan lengkung alis di atas kacamata dengan frame besi berwarna kuning tertempel di wajah Pak Syafi’ie yang tertuju ke arah Reza Zakaria, sang calon komposer puisi serta pantun.
“Yakin, Pak. Demi adinda Maulida, saya akan jadi calon ketiga diantara kedua kaum Hawa itu.” Kali ini ia lemparkan perhatian pemirsa dari dirinya menuju ke pujaan hati dikelasnya, Maulida Ayuni, si milenialis dengan kata andalannya, gaes – guys – disetiap imbuhan akhir paragraf.
“Wow wow, Bang. Kenapa jadi demi saya?!” tanya Maulida yang sedikit syok dicampur histeris sejenak.
“Karena, demi masa depan Abang, yang siap jadi pemimpinmu, imam mu.” kali ini tangan kanannya seakan mengajak Maulida untuk naik ke podium sakral bahtera rumah tangga.
Maulida berhenti sejenak. Ia terpikir cara jitu untuk membalikkan kata-kata memalukan itu dengan menghempaskannya layaknya yang dilakukan Andra.
“Pemimpin saya, ya Buk Ayu Hastri Ananta, imam saya, ya imam di mesjid dekat rumah, Bang.” jawaban ini diharapkan bisa menohok tenggorokan Jek.
“Aduh, serasa menohok, Adinda.” benar saja, Jek tak mampu lagi berkata sepatah pun. Skakmat sudah dilayangkan dan Jek harus belajar lagi dengan empu Kurnia, sang pujangga cinta jilid kesekian kalinya.
“Saya rasa, saya mampu tunaikan tanggung jawab ketua kelas, Pak.” suara santai dan tajam ini mengingatkan pada pertanyaan HRD pada karyawan baru.
Orang seperti Budi Nugroho ini yang patut dijauhi pelajar-pelajar perfeksionis nan apatis. Cukup tegang saat mereka berdebat saat berkegiatan belajar mengajar dan itu diluluhlantakkan Budi dengan santainya seakan ia merasa sudah membaca gerak-gerik, air muka, gestur yang tidak perlu, sampai juga gerak kaki didalam tutup sepatu tiap kawannya.
“Santai saja, rileks, teorema masing-masing tidak ada yang bisa dibuktikan dalam grafik tersebut.” dengan congkaknya, ia terlihat seperti melelehkan makanan yang disajikan kedua peserta konflik itu dengan perhitungan akurat.
Sampai-sampai, saat berdiskusi kelompok, Budi tak menautkan fokusnya ke pelajaran, tapi malah merusak suasana musyawarah dengan asyik membaca garis wajah anggota kelompoknya. Praktikum Biologi jadi saksi aksi nyeleneh si psikolog.
“Bud, tolong fokus ke penelitian!” Ayu sang Dewan Siswa menggantungkan suaranya dengan tegas menyatakan perang terhadap psikolog itu yang tengah membuka sesi deteksi pola perilaku dengan hanya membaca sampulnya.
Serasa tertarik kupingnya oleh teguran itu, Budi mengaplikasikan sesi itu pada ibu Dewan Siswa yang terhormat. Alangkah beda respon yang tercermin saat Ayu terkena tatapan laser Budi. Salah tingkah setengah mati lah ia.
“A-apa??!” luapan suara itu jelas terdengar malu dan menyimpan aroma yang akan memancing perburuan.
Andra yang kebetulan berbeda tim seakan tertarik kupingnya untuk melirik apa yang terjadi. Dengusan halusnya menandakan tidak ada yang menarik perhatian dalam bentuk pertentangan logika misalnya.
Budi tahu semuanya, bahwa Ayu nampak lebih besar salah tingkahnya saat melewati haluan yang menyerempet bangku Andra. Teringat lah ia kalau Ayu pernah memerah mukanya saat tak sengaja pinggangnya menyenggol bangku Andra lantaran tak mengaitkan titik fokusnya pada haluan maut yang sedang dihadapinya itu.