Hari itu ilalang tumbuh lebih lebat dari bulan lalu. Sebelum penghujan bulan Oktober, seharusnya ilalang tak tumbuh sederas itu. Persaingan soal tumbuh menumbuh untuk menutupi lapangan bola sepak Semabung diwarnai persaingan alot antara ilalang, rumput gulma, dan rumput jalar sudah membentuk permadani alami yang tak disukai manusia, namun diminati anjing liar disekelilingnya.
Saing bersaing diperuntukkan bagi yang sama-sama kuat dan berpengalaman luas. Sama seperti yang ditunjukkan oleh kelas orang aneh, XIIA1. Saling memangsa, menjatuhkan, dan menggulingkan sesama saingan saat belajar dan tak ambil perasaan diluar itu sudah jadi sebutan untuk profesional.
Fenomena sikut menyikut itu selalu ada setiap kegiatan rutin kelas selama dua jam dibelakang meja persegi panjang dengan salah satu sisi tak kurang setengah meter. Normalnya, setiap pengajar request pertanyaan dari murid untuk bahan dialog dan umpan balik sehingga memenuhi standar belajar. Bila guru melakukan request, berarti ia telah selesai menerangkan mukadimah pelajarannya. Tapi, dengan judul persaingan keras untuk mencapai titik pemahaman mereka.
“Siapa ketua kelas disini, Yu?” Bu Mische pengajar Matematika yang terkenal sukar dimengerti dan banyak mengecoh murid berotak sedang seperti kelas sebelah menurunkan wajahnya agar mata terlihat melakukan kontak setelah dibayangi kacamata kuno dengan temali butiran-butiran mengkilap tergantung sampai ke telinga.
“A-andra, Bu!” gelagapan si mami tiri, sang ketua Dewan Siswa, pemuja keteladanan dan ketelatenan berpendidikan timpang saat mengucapkan nama Andra yang sedari tadi belum menampakkan raga berwujud jangkung tegap tapi tak ikut anggota pasukan pengibar bendera. Tak gempal, tak cungkring pula. Kuning langsat matang terpatri di wajahnya.
“Kamu kenapa, Ayu Hastri Ananta?” kebingunganlah Bu Mische dengan pola tingkah yang jarang terlihat itu selama hampir tiga tahun ini tertarik untuk membimbing kelas unggulan di bidang Matematika.
“Tak ada apa-apa, Bu.” Anehnya, gemetar jiwa dan raga langsung padam setelah nama Andra berlalu.
Namun malang nasib Ayu, ia harus kembali gemetar dengan reflek kejutan listrik dari tengkuknya. Karena sosok yang tak terlalu diharapkannya sekarang muncul di daun pintu dengan membawa map kuning langsat yang menjadi topik langganan bagi kelas unggulan seperti kelas orang aneh ini. Tulisan olimpiade sains terpampang di muka map itu. Kali ini Internasional!
“Andra, kamu ketua kelasnya, ya?” Bu Mische mengernyitkan dahi tanda meragukan tanggung jawab dari sang ketua kelas.
“Seharusnya tak ada keraguan lagi, Bu.” gestur menunduk sambil melewati meja guru yang selalu membuat mental down siswanya itu cukup brilian ditunjukkan untuk meredam rasa geram Bu Mische.
Bisa ditebak Ibu Mische adalah orang dengan logat Batak terbaik di Pulau Bangka saat itu. Dapat diketahui karena masih kalap nya beliau memakai huruf E tiap kali bersemangat. Ganjil lima tahun sudah – karena belum mencapai enam tahun – beliau mengabdikan diri sebagai pengajar tingkat tinggi di sekolah itu. Kata ‘ok' pun mulai melekat dari setiap pernyataan beliau. Imbuhan itu menjadi ciri khas Pulau Bangka yang mungkin tak akan terjadi pada permadani hijau lain di Indonesia.
Kekayaan bahasa itu memang jadi magnet menarik untuk turis yang tertarik mencoba mencicipi wisata linguistik dari Sabang sampai Merauke. Ada yang memiliki nada meliuk-liuk, ada yang cenderung frontal, ada yang dengan nada mengajak ribut, dan ada pula yang santai seakan menikmati musik reggae dipadukan dengan dangdut koplo. Semua itu hanya ada di Indonesia.
Beralih ke nona calon Duta Besar Indonesia yang tak berani menatap perjalanan Andra dari daun pintu sampai ke tempat duduknya. Serasa tertarik oleh seseorang, mata Indri menjadi seperti pemburu dengan menghadapi rusa di pelupuk matanya. Walaupun mereka bersaing secara sehat dan saling benci secara alami tanpa virus menyebarluaskan kekurangan masing-masing ke khalayak ramai. Otoritas Ayu pun tak digunakan untuk menyerang mantan sahabat masa kecilnya itu.
Kelakuan umum yang sering jadi pemandangan Mami Tiri mulai dari memarahi pelajar terlambat, ikut mengusulkan jam tambahan di semua kelas, mengusulkan kerja bakti sekali seminggu, diadakan patroli ke kantin sekolah, izin keluar sekolah saat jam pelajaran harus tanda tangan guru mengajar, sampai murid-murid harus punya satu kegiatan ekstrakurikuler di luar jam pelajaran. Begitu kerasnya pada zamannya. Tidak ada guru yang tidak menyukai orang-orang seperti ini. Demi nama kedisiplinan, katanya.
Barangkali ada yang bertanya-tanya kenapa Ayu sampai segitu takluknya pada ketua kelas XIIA1 anyar yang tak ada hati pada jawaban dari setiap pertanyaan ke arahnya? Masih ingat dengan keinginan Andra untuk kerja selepas meninggalkan seragam merah putih? Ia memanfaatkan ilmu lima tingkat diatasnya untuk mengajar murid-murid seusianya. Ia rintis usaha itu dari sesama sekolahnya. Lambat laun, orang tua yang diajari anaknya dari Andra menjadi agen marketing baginya untuk menyebarluaskan sang anak ajaib yang masih SD. Ayahnya angkat tangan. Karena sudah bernazar untuk mengabulkan permintaan anaknya bila dapat juara kelas dan nazarnya makin kuat hingga ia tak ingin membatasi apa pun keinginan anaknya itu.
Baru setelah itu, kenalan Ibunya Ayu, Bu Rastika, mendapat kabar angin itu dan tertarik untuk menggunakan jasa Andra si fenomenal. Bekerja sejak dini. Meski ayahnya mampu membelikannya barang-barang mahal, mulai dari sepeda, handphone, tas baru, sepatu baru, satu set crayon, game console, dan barang lain yang diminati anak seusianya, ia tetap ingin mendapatkan semua itu dari usaha sendiri. Cara itu ia adaptasi dari acara renungan anak di televisi. Agar dapat membuat bangga ibunya yang sudah diangkat ke langit sejak kelas empat.