Rumus Angan

Azizul Qodri
Chapter #9

Kepingan 9: Pria Gemini yang Punya Prasangka Mini

Tak ada yang dipercaya di dunia ini. Itulah pikir dari orang paranoid yang hidup di dunia dengan segala prasangka nya. Timbangan prasangka orang-orang itu terkadang berat sebelah, terkadang sama rata. Suudzan dan huusnudzan berada di masing-masing sisi timbangan. Setiap sisi timbangan dapat diisi oleh kelakuan dirinya, relasi lain, barang yang ada di dekatnya, bahkan peristiwa yang terjadi.

Ogi, pekerja keras, jujur, dan tanggung jawab yang ada di perkebunan sapi milik ayahnya Andra menjadi objek penelitian psikologi Andra. Kira-kira 10 tahun selisih di antara mereka. Tapi, Andra sudah mengecap titik-titik saat berbicara dengan orang yang usia sekiranya setara Ogi. Tak ada kagok ataupun canggung, Andra mampu membaca seluk-beluk masalah dari Ogi sang pengembala. 

Sejak ultimatum dari Indri yang menantang Andra untuk bisa menangkapnya dalam artian melakukan seperti yang dilakukan Budi Nugroho sang pembaca psikologi ajaib. Andra berlatih sana-sini. Membaca buku psikologi, mempraktikkan ilmu dari ayahnya, sampai menonton orang yang sedang bercengkrama di kanal internet tempat mangkalnya pembuat konten berwujud video sambil menyelipkan perkataan: “hey guys, jangan lupa like, share, dan subscribe

Mempraktikkan ilmu kejiwaan layaknya bersenda gurau sambil bermain catur. Salah langkah bisa skakmat. Apalagi melawan grandmaster catur psikologi: Budi Nugroho, pion rajanya bisa terlempar dari arena tempur dengan langkah Karpov. Salah baca script yang digoreng secara dadakan dari mindset bakal hancur lebur. Maka, Andra selalu bolak-balik bersua ayahnya untuk menjaga ilmu baru itu tetap runcing hingga membuat kejiwaan ayahnya sedikit terluka.

Teringat satu kejadian dari Budi yang dengan lancang tanpa ketahuan membaca air muka Zaskia Ruvie, sang Hafizah berdarah Koba yang selalu lalu lalang di acara perlombaan Tahfiz Qur’an, mengisi pengajian rutin di langgar dekat rumahnya, serta tak jemu bertemu dengan pejabat teras di kota Pangkalpinang. Gadis berkerudung syar'i dengan tinggi tak menjulang dari angka 145 cm itu, bisa tenang setelah menamatkan sekolah keduniaan di SMA ini. Pasalnya, banyak beasiswa dari Saudi Arabia yang menunggunya untuk dijemput. Berkat pengalaman malang melintang di dunia Tilawatil Qur’an, sosok yang harusnya jadi panutan gadis modern itu dengan mudah menyabet hati para Syaikh, Ustadz, Ustadzah, Kyai, bahkan manusia mulia yang menyandang gelar Habib pun termasuk didalamnya.

“Kia, siraathal mustaqim itu besarnya seberapa, ya?” Budi mengambil beberapa istilah Arab yang diambil dari Al-fatihah dengan artian: jalan kebenaran.

“Dalam beberapa hadits, besaran luasnya itu bagaikan sehelai rambut dibagi lagi menjadi tujuh, Bud.” penjelasan yang polos dan bermakna informatif dari wajah Zaskia.

“Wah, dengan badan setambun Odi, bagaimana bisa?” memanfaatkan lingkungan sekitar, ciri khas orang psikologi ini yang tak tahu malu bermain fisik.

“Dikatakan dalam hadits, tak ada yang mampu melewati itu kecuali dengan bekal iman dan taqwa, Bud.” penampakan hafizah cilik tiba-tiba muncul dari diri Zaskia.

“Kadang kala aku berpikir, Kia. Apa aku ini bisa lewati jembatan jalan kebenaran itu, ya? Baca Al-Quran saja tersendat, apalagi lewati siraathal mustaqim itu, huh” ini yang jadi poin simpatik Budi untuk bisa mendapatkan atensi Zaskia yang cuek dengan kaum Ikhwan karena kerasnya didikan ayahnya yang seorang Syekh di pesantren daerah Koba.

“Pasti bisa, Bud, mumpung masih banyak jalan menuju Roma dan Saudi, pasti bisa menuntunnya. Kamu mau diajarkan mengajikah?” amboi dengan beberapa patah dia bisa menumbangkan dinding anti-bukan mahram dari Zaskia yang walaupun Budi juga tak akan macam-macam. Sesimpel itu sebenarnya.

Demi apa pun, membaca garis psikologi dapat melumpuhkan apa pun. Hingga hati yang sekeras batu pun dapat dimuntahkan kedongkolannya menjadi si tangan terbuka.

Bagi yang pemula, hal pertama yang dilakukan adalah membaca psikologi diri sendiri. Apakah sudah layak untuk membaca psikologi orang lain? Atau masih dalam tahap meraba-raba etikad diri sendiri untuk bisa membaca psikologi orang lain. Baru setelah itu, membaca situasi psikologi orang yang akan dibaca. Kalaupun dalam kondisi baik, tak salah untuk mendalami apa yang dipikirkan orang itu.

Lihat selengkapnya