Rumus Angan

Azizul Qodri
Chapter #10

Kepingan 10: Pemuda Kota yang Udik

Persiapan mental merupakan suatu proses membentuk insan yang sedang berkembang melumpuhkan nilai-nilai pesimistik dari berbagai pihak. Bahkan, sebelum menghadap pihak otoritas yang berlomba-lomba menggerogoti uang kas, tak ada barang satu pun melemparkan kepercayaan pada kelima orang yang dewasa ilmu daripada orang-orang itu untuk setidaknya membopong beban di bahu mereka membawa nama bumi Pertiwi. Tak pelak, ini membuat mereka muak dengan niatan membanggakan orang-orang dari Indonesia.

Hitungan seminggu untuk bertarung ilmu pada olimpiade sains internasional. Pedang sains sudah diasah setajam mungkin, setidaknya untuk empat orang selain Andra. Mifta bukan hal yang jadi masalah besar untuk menampung sebanyak-banyaknya ilmu matematika malah ia semakin haus dengan pengetahuan hitung-menghitung kalkulasi sains. Apabila yang lain menanjak dengan teknologi baru, lain halnya dengan Mifta yang masih saja mengaduk-aduk alat hitung kuno dengan wujud biji ditumpukkan pada satu sisi bernama: sempoa.

Hal lain untuk pemuda Arab yang semakin dielu-elukan kaum Hawa, Ilham makin mengeratkan janjinya sendiri untuk tak mengecewakan kedua orang tuanya yang terbiasa gantungkan harapannya pada sang ilmuwan kimia, tapi untuk masalah ilmunya sudah tak diragukan lagi.

Sementara Ganesha memilih untuk menutup diri selama sebulan sebelumnya demi membekali mental dirinya di mata dunia sains internasional. Sebanyak-banyaknya ia mengikuti olimpiade atau lomba sains, inilah yang paling efektif menurunkan mentalnya secara perlahan-lahan. Kalau pagi, terang bersama sinar mentari, hingga malam, selalu dirundung temaram rembulan. Tapi, terlanjur janji yang ia kumandangkan dengan Anggirin karena ia merasa sangat ingin membahagiakan perempuan yang baru mulai dikaguminya itu. Akhirnya, ia mengalah dengan ukiran janji itu dan kembali bangkit di pembukaan bulan selanjutnya demi saingan Fisikawati hebat itu.

Kalau A Gong, santai saja memikirkan keuntungan yang didapat dari dagangan Hoklopan nya semalam. Si calon praktisi Biologi itu nampak menikmati teori berjualan Hoklopan yang ditularkan dari sang maestro, A Siong. Ia tak memberitahu lelaki Hokian congkak yang tak mau A Gong ambil alih dagangannya hanya karena pemuda polos nan lihai itu bakal ke daratan Eropa yang sama dinginnya dengan guru besar Hoklopan itu. Ia hanya ingin memperdalam ilmu per-Hoklopan-an sampai ke dalam. Bahkan ia sudah banyak meresapi aroma kerja keras dan kerja cerdas dalam lima langkah ekspres membuat si Terang Bulan itu jadi idola. Matangkan adonan, panaskan dengan api kecil, luberkan susu, oles margarin, dan buat si martabak melahap habis toppingnya. Simpel tapi menghanyutkan, pikir si murid A Siong itu.

Dan, lain kisah si fenomenal pemegang pedang logika itu. Ilmu psikologi masih terus digeluti sampai ke titik dimana dia bisa membaca tiga aktivitas yang akan dilakukan ke depan. Ekspresi sudah dengan mudah dikuasai. Ia hanya butuh memangsa lima korban untuk menguasai perekaman ekspresi dan penyesuaian objek dialog yang akan di tembakkan. Ia terpaksa harus menepis pisau logikanya agar bisa melakukan unlock ekspresi sebenarnya dari si target.

Kelimanya kenyang pengalaman yang tak akan digunakan pada acara penting dalam perebutan medali ilmu pengetahuan di Berlin. Penantian yang tak kunjung usai itu, akhirnya tiba. Setelah ayam berkokok menyambut matahari pagi esok, starter mesin harus sudah dinyalakan seperti memanaskan mesin motor setiap mengawali hari. Lain untuk hari ini, kelimanya harus menghidupkan mesin baru yang terus dipanaskan oleh Pak Ghana yang selama menunggu hari ini tiba, menyiapkan tenaga baru yang berbeda dari sebelumnya.

Naik level, naik juga tenaga dan mesin yang digunakan. Apalagi, levelnya sudah antar negara. Bukan antar provinsi atau antar kabupaten. Memang, persaingan antar provinsi juga cukup menyita fokus masing-masing pada selingan yang digeluti mereka.

Lihat selengkapnya