Rumus Angan

Azizul Qodri
Chapter #12

Kepingan 12: Hari Kemustahilan Bagian 1

Tiada yang mustahil di dunia ini. Bahkan, sendok besi yang terkenal kuat walaupun digigit beratus-ratus tahun nanti bisa bengkok hanya dengan di sugesti. Bahkan, pohon dengan tubuh yang kekar nan gagah itu pun masih bisa dibuat kertas yang lembut bin halus dengannya. Hanya satu yang mustahil: berlari dari kematian.

Mengemban misi memenangkan olimpiade sains tingkat internasional hanyalah mimpi pada awalnya. Mustahil ada anak dari kota kecil yang ada di pulau Semenjana Sumatera berdua bergandengan tangan dengan Pulau Belitong menahan belahan Selat Gaspar, diberikan kepercayaan untuk mewakili nama Indonesia keluar negeri, daratan Eropa, seperempat tanah dunia. Secuil tanah Eropa pun tak pernah terbersit sedikitpun membayangkan akan menginjak kaki dan bersaing ilmu dengan seusia mereka, saling sikut, saling menjatuhkan, bahkan saling provokasi. Semoga yang terakhir tidak.

Menteri Pendidikan percaya anak-anak yang sering berkeliaran di lingkungan olimpiade itu pasti mampu menyabet penghargaan bergengsi, segengsi-gengsinya, hingga lupa mereka selalu makan nasi sebagai penganan sehari-hari. Takkan lupa pada kulitnya. Anak-anak dari pulau Melayu Bangka itu tetap tak ujub. 

Kepingan kemustahilan dimulai dari kabar squad jenius yang hanya gempar di sekitaran Pulau Bangka saja, menjadi bombastis karena ditunjuk untuk menyambangi Jerman sebagai eksibisi ilmu tingkat master yang tersimpan di museum otak mereka. Dari eksibisi menjadi ekspedisi. Menukar pengetahuan dengan medali tanda suksesnya menaklukkan gunung ilmu yang diisi beragam tantangan dan persaingan, baik itu dari lawan ataupun dari internal: kesulitan soal juga kesehatan mental peserta.

Yang paling dikhawatirkan adalah Ganesha. Caranya berpisah dengan Anggirin terlihat sangat emosional dan itu membuat ia semakin drop mentalnya. Beban itu semakin terlihat di bahunya saat melangkahkan kaki di jembatan penghubung bandara dengan pesawat. Kakinya terasa berat. Lengah pengamatan dan sering terlambat dari barisan peserta olimpiade, membuat resah Pak Ghana satu-satunya pendamping Squad KaSa. Tak lain mereka bertujuh, ditambah Zevanya yang secara ajaib bisa menyamakan jadwal dengan cara yang tak dimengerti.

Entah bagaimana, yang jelas dihadapan mereka gunung itu pun tak terelakkan. Tinggi layaknya gunung Everest, berjajar panjang bagai tembok China, dan tebal seakan menembus kerak bumi berjuta kilometer jaraknya. Satu hal yang terus menerus diulang dan dipertegas guru pembimbing olimpiade yang nampak santai sekali dan tak sabar lagi mengingat kembali daratan yang sudah membesarkan mentalnya itu. 

“Pegang kelingking kalian, sebut satu persatu idola kalian, dan beritahu mereka kalau kalian sudah melakukan yang terbaik.” setidaknya itu yang harus dipraktikkan Ganesha yang pucat sedemikian rupa.

Jika Miftakhul datang mengidolakan Ustadz Jefry Al Buchori, Freddy Mercury, dan Lionel Messi; maka, A Gong pasti menambakan Jackie Chan, Bruce Lee, dan A Siong. Selanjutnya, ada lagi Mahatma Gandhi, Martin Luther King, dan Nelson Mandela yang diidolakan Ganesha juga tak lupa mengagumi Anggirin. Ilham yang berbeda, ia hanya memiliki kekaguman dengan harga yang mahal. Akibatnya, ia hanya mengagumi tiga orang terdekat: ayahnya, kakeknya, dan Andra. 

Tak salah memang dia mengagumi sosok fenomenal yang selalu menyayat perasaan orang-orang yang mengajaknya bicara. Yang salah adalah memberikan ruang baginya untuk bicara. Ilham sudah punya imunitas akan hal itu. Pernah satu kali Andra menginisiasi dialog dengan pemuda Arab meski masih menduduki kelas 1 SD.

“Kamu bisa berhitung?” dengan polosnya Andra kecil mencari kompatriot orang pintar yang sudah pasang pondasi sedari dini.

“Bisa.” balasan yang memang ditunggu oleh Andra.

“Bagus. Kamu bisa leluasa berteman denganku.” pernyataan itu menimbulkan pertanyaan dari muka polos Ilham kecil yang baru saja kemarin pindah dari kota Palembang.

Ilham yang dari kemarin merasa ada yang mengintainya dan mengawasinya seakan dekat dengan sesuatu atau seseorang yang mengintainya kemarin. Hingga membuat ia berceloteh:

“Kamu kemarin kenapa mengintai aku, ya?” tak ada niatan menyinggung, tapi ia hanya ingin mengetahui lebih lanjut sesuatu yang sangat besar mengintai kepribadian dan karakternya sebagai anak kecil yang berbeda.

“Kamu ada sesuatu yang beda.” lagi, pernyataan yang menimbulkan pertanyaan.

“Aku juga tak tahu apa yang beda.” Entah beruntung atau sial si Ilham yang dapat jatah duduk di sebelah Andra.

“Aku ini beda, lihat saja yang lain tak mau dekati aku.” sambil mengarahkan wajahnya yang terlihat supel dan berusaha ramah. Ternyata dia sial.

Lihat selengkapnya