Penat, lelah, dan letih bercampur menjadi beban dan rasa gugup memanjat pula ke bahu masing-masing pemuda itu. Tak terkecuali Andra. Pasalnya, ia tak pernah menyengajakan dirinya untuk bertamu ke luar negeri. Ia bisa saja datang ke sana dan meminta ayahnya untuk mengongkosi pulang-pergi dan hidup selama ia mau. Namun, bukan begitu caranya untuk bisa menjemput hal mustahil dengan kepuasan penuh.
Melangkah ke dalam pesawat berbadan sedang yang melayangkan raga transit ke bumi ibukota negara. Tiga puluh menit cukup untuk sekedar membayangkan diri bisa malang melintang di Jerman, tempat dataran rendah di Eropa yang dapat membantu jasad menjadi kaku bila tak terbiasa. Masih dalam suasana bangga dilarutkan ke dalam cairan berisi senyawa gugup juga gemetar melawan peserta olimpiade dari berbagai habitat dan tabiat.
Awan-awan kapas lembab yang dibasahi air laut dari perairan Bangka menyusuri daerah-daerah yang dirasa kering ataupun sudah kuyup dihantam guyuran hujan kemarin. Mereka gemar menari-nari di atas permadani hijau dan menghinggapi semilir angin. Kadang kala sambil menari, mereka saling bertabrakan dan jumpalitan bersorak-sorai mewakili gemuruh petir yang tinggi semampai.
Embun-embun sebesar biji jagung melenyapkan kecanggungan akan peristiwa hebat yang akan dihadapi. Cocok untuk menenangkan pikiran dan hati yang masih belum bisa tenang. Relaksasi yang hebat seakan tembus menyusupi gerakan demam panggung yang tengah melanda Ganesha. Janji untuk membawa kemenangan menyegel rasa percaya dirinya yang biasa dibopong dan tak ada terasa berat didalamnya.
Pria klimis itu tak bisa membayangkan bagaimana ekspresi Anggirin saat di lewat satu soal saja dan menjatuhkan diri sendiri dari podium juara. Ungkapan penuh kekesalan karena tak bisa tenang, terendus oleh rasa penasaran Andra yang biasanya akan usil menambah canggung menjadi lebih berat. Tapi, kali ini berbeda. Andra tak mau salah satu dari mereka menjadi beban yang akan membuat timpang timnya.
“Bung, kau tak apa?” posisi duduk dalam pesawat mulai dari jendela ke jendela lagi: Ganesha, Andra, Ilham – Pak Ghana, Mifta, Gerardo. Ganesha tak keberatan untuk dipergoki sedang cedera mentalnya karena beban janji Anggirin.
“Begini, Dra. Aku ‘kan penggantinya Girin, biarpun aku saingan, tapi tetap saja ada rasa tak enak hati aku duduk disini atas namanya.” lirih seorang calon ilmuwan Fisika itu atas ketidaknyamanan situasi ini.
“Kamu tak enak hati karena Anggi yang tak bisa ikut atau karena Anggi yang harus menjaga orang tua nya?” pertanyaan yang mungkin akan dijawab dengan kebingungan terdalam dari Ganesha.