Rumus Angan

Azizul Qodri
Chapter #14

Kepingan 14: Salam dari Daratan Salju untuk Tanah Timah

Tarian kapas langit yang memudarkan sendunya nyanyian mendung itu seakan menanamkan rasa semangat menggebu-gebu menggantikan posisi canggung lagi gemetar yang tadinya bertahta di hati masing-masing pemuda itu. Selain mendapat alunan suara dari pramugari yang sedari tadi hilir mudik menawarkan berbagai fasilitas pesawat, mereka mendapat pemandangan miniatur gedung di daratan.

Tanah Malaya, Negeri Jiran Malaysia. Megah tak terkira ditinjau dari atas. Negeri yang ikonik dengan dua menara kembar dengan sambungan satu jembatan di bagian yang menjorok ke atas gedung, Twin Tower, akan menyambut mereka dengan langit yang cerah. Negara yang serumpun dengan orang Melayu Indonesia tak pernah sepi akan manusia datang dan pergi. Hingga malam pun tetap saja tidak cukup untuk mengistirahatkan aktivitas berdagang, berbisnis, ataupun bercerita.

Aura Melayu juga nampak kental di negeri ini. Jadi, mereka tak perlu sibuk mengganti mode gaya hidup sembari bersiap untuk melayangkan angan mereka di Jerman. Tidak terdapat perbedaan suhu disini, mereka tak perlu repot untuk memasang sandang anti suhu minus.

Mereka dijadwalkan akan menunggu di sini sampai jam lima sore dengan durasi dua jam setengah, mereka juga dijadwalkan akan terlunta-lunta di terminal udara Negeri Jiran. Bertamu ke negeri serumpun cukup membuat pangling. Bukannya semua terlihat sama, namun tidak demikian halnya di lapangan. Suasana yang lebih teratur dan kooperatif di bumi Melayu perkotaan. Sementara, di bumi Melayu perkampungan, malah lebih rindang dan tenang. Sedikit bincang-bincang ghibah menghiasi, juga kata-kata umpatan tak bijak mampu memenuhi kalimat motivasi yang harusnya dilahap mantap-mantap oleh para pengemban misi.

Untungnya mereka tak banyak tingkah dalam menunggui jemputan si burung besi dengan gagah berani menyusuri padang kapas biru karena digelayuti pantulan warna laut yang mengepung jejeran pulau dari daratan Malaysia hingga ke seberang Eropa, Jerman. Sungguh ciamik perpaduan garis gaya Melayu yang diterapkan orang arsitek dengan menerapkan konsep desain interior Eropa. Tiang pancang beton di sepanjang jalan koridor menuju ruang tunggu transit mereka menutup rapat-rapat rasa tak puas karena tak langsung bertamu ke Berlin. 

Ruang lobi bandara juga lebih menyita perhatian bulu kuduk orang-orang udik yang dulunya terpancar di paras Pak Ghana. Beliau hanya tertawa kecil sambil menunggu langkah lambat anak-anak kota namun udik itu. Payung-payung raksasa seakan terbentang di atas ubun-ubun mereka. Dengan pancang lebih melebar ke bawah menyerupai tower yang dilihat pertama kali saat pesawat melandai ke arah jalur mendarat. Tak kalah memang dari bandara internasional Soekarno-Hatta. Tapi, dengan visi yang hanya terbatas pada lingkungan domestik saja, jelas cap udik itu terlihat seakan Ghana muda ada di jiwa mereka.

Lihat selengkapnya