Rumus Angan

Azizul Qodri
Chapter #15

Kepingan 15: Meneguk Segelas Ilmu

Jarak tempuh kuadriliun milimeter menuju gala olimpiade sains internasional bagai dekat dengan nyawa. Dulang yang kemarin penuh dengan ketan dan lontong tak ayal lenyap dalam sekejap mata dan akan tergantikan dengan sebakul penuh roti-rotian bertabur wijen berkilauan menemani dinginnya Eropa yang memanjakan gemetar kulit serta bulu kuduk orang-orang Asia yang tak kenal musim dingin. Simulasi temperatur dibawah 20 derajat Celsius melalui air conditioner tak mampu menyesuaikan kulit orang-orang Melayu yang hanya terbiasa menyongsong uap hujan.

Lima belas jam menempuh wadah prestasi yang akan diberikan. Terbayang oleh kelima pemuda itu sosok yang berdiri tegak di atas podium pembagian medali sains berwarna emas seperti gigi palsunya Bang Kurnia si empu pencipta puisi roman dengan senandung rindu yang lirih. Pecah tawa canda saat teringat si gigi empu pujangga pantun termasyhur sejagad Kampung Zed itu. Mereka berharap semoga Jek tak bersin setelah olokan itu terucap.

“HACHIM!” benar saja, Jek yang sedang memperdalam ilmu berpantun ria dengan ragam teknik diksi yang melankolis agar sang pujaan, Maulida Ayuni takluk.

“Bang, aku masih mau belajar banyak soal berpantun tanpa kenal penolakan seperti Abang.” Jek sebenarnya bersepupu dengan Bang Kurnia. Jadi, sebutan Abang selalu melekat dari sebutannya.

“Empu! Panggil Empu!” dengan lagak seperti dukun yang sedang kedatangan pasien putus cinta memohon-mohon untuk disegerakan jodoh gadis impian si pasien.

“Iya…. Empu. Yuni tak tergoyahkan dengan pantun-pantun ku, Empu. Pakai cara apa lagi untuk menaklukkannya?” ratap sang pasien pasrah setengah takjub melihat aura yang terpancar dari jenggot ala dukun pantun.

Tak berkedip Bang Kurnia memandang dan memantau Jek dengan segala perangai, tabiat, dan perkataannya yang sudah lewat. Hingga sampai pada perkataan:

“Sebentar, minun dulu.” air putih hangat kuku yang sedari tadi menunggu disampingnya yang terduduk santai di atas kursi bambu lawas tempatnya mangkal.

“Tak lagi cicip teh atau kopi lagi, Empu?” tanya iseng itu sembari menunggu tegukan demi tegukan air putih saja dari cangkir putih juga yang bertudung warna putih juga.

Sebelum Jek sempat melempar pandangan keluar,

Dari Pasir Padi menuju ke Tongaci

Mengalir laut bagi yang bersungut-sungut 

Karena minum kopi tak enak tanpa kuaci

Lihat selengkapnya