Teknologi memang seperti virus. Orang awam yang menguatkan imun mereka untuk menolak virus kejam yang dapat merubah tabiat manusia dengan kepribadiannya yang terkenal tangguh bernama teknologi. Teknologi informasi memang memudahkan aktivitas insan mulai dari pekerjaan, kegiatan sehari-hari, mencari individu-individu lain, dan menyebarkan bakat-bakat terpendam mereka untuk lebih banyak disaksikan banyak orang yang tak dikenal. Informasi yang ditawarkan cukup menyita perhatian dalam dan luar pikiran. Menjadi candu tak tahu malu menyusupi setiap ruang sensitif memori alami manusia. Diingat, diresapi, dan diterapkan ke dunia nyata. Beruntung, ilmu yang dimaksudkan adalah ilmu agama dan ilmu positif lainnya. Nasib sial bagi diatas generasi Z yang suka bolak-balik daring wadah sosial dengan segala tingkah lakunya yang bertele-tele.
Luar dan dalam teknologi jadi perhatian para pegiatnya. Seni teknologi semakin gencar diminati. Penampilan menarik hanya untuk teknologi menjadi kesenangan orang-orang yang menggiati oprak-oprek bidang teknologi. Tampilan dirinya tak dihiraukan lahiriyah. Bathiniyah hanya memikirkan se-fancy mungkin teknologi itu terlihat dimata penikmatnya. Si produsen tahan tak beranjak dari tempat ia memproduksi teknologi itu demi ‘anaknya’ yang susah payah ia bangun.
Ialah Rudi Al-Maliki sang maniak piranti teknologi bernama komputer dengan seluruh jajarannya yang tersusun semacam kabinet hardware bersatu. Tak pelak, ia menjadi asisten teknisi bagi guru teknologi informasi yang ditugaskan mengajar pelajar unggulan di Pulau Bangka, Pak Kamsir. Namanya memang tak mencerminkan kepribadian berteknologi, hanya saja kemampuan otak dan skill dalam mengolah kode bahasa pemrograman memang berstatus adiluhung. Enam tahun sudah Sukamsir Akhiruddin mengabdikan dirinya sebagai pengajar di sekolah swasta dengan judul unggulan itu.
Honornya tinggi, juga hidupnya sejahtera di sini. Tapi, yang namanya manusia, memang adakalanya merindukan kampung halaman yang telah lama ditinggali semenjak merantau di usia muda, Sragen. Sudah tak Jawa lagi logatnya, hanya saja bila diajak bahasa ibu, sudah pasti diladeni. Selihai-lihai beliau berkemampuan tinggi di bidang IT (Information Technology), beliau sungkan untuk mengabdi pada dunia itu diluar jam pendidikan. Semisal, membuka kedai internet, atau toko komputer, bahkan membuka les teknisi komputer agar ilmu nya tak beku di makan waktu.
Beliau malah banting setir menuju arah perkebunan lada, sawit, bahkan cabai dengan dijanjikan hasil yang lebih manis dibanding tiga sampingan di atas. Komoditas melawan komputer. Merambah bidang lain adalah favoritnya. Apalagi saat di Sragen, Kamsir kecil lebih banyak memegang cangkul dibandingkan piranti teknologi waktu dulu.
Sudah luas kebun beliau ditanami komoditas itu. Tapi, itu tak mengobati penyakit asam kerinduan akan kampung halaman. Raga boleh Bangka, tapi tetap jiwa masih di Jawa. Beliau ingin sekali bersua ke sana dan duduk santai di teras rumah yang menghadap ladang sawah idamannya. Hingga hari itu, ia memutuskan untuk bermusyawarah dengan Pak Bambang agar dilapangkan keputusan pulang kampung ke Sragen.
“Permisi, Pak Bambang. Saya izin untuk menghadap.” dengan ramah juga sopan, beliau tidak ingin mengacaukan diskusi ini, walaupun beliau tahu Pak Bambang tidak akan menghalangi keputusan itu.
“Wah, Pak Kamsir! Bagaimana kabar, Pak? Ada apa gerangan?” Pak Bambang dengan tipe bukan yang berbelit-belit mempersilakan duduk sang teknisi unggul itu.
“Kabar baik, Pak. Mohon izin, Pak, kiranya saya perlu berdiskusi dengan Bapak, soal permintaan saya, Pak.” kembali berhati-hati untuk mengawali diskusi yang diharapkan tidak alot.
“Permintaan apa itu, Pak?” wajah penuh tanya hinggap di wajah bijak Pak Bambang yang penasaran dengan bapak-bapak yang tak pernah banyak pinta di sekolah ini, selain Pak Fuad, sang penjaga sekolah.
“Saya mohon izin memutuskan untuk kembali ke kampung halaman di Sragen, Pak. Sudah lama tak mudik ke sana.” benar. Sudah sekiranya dua puluh empat tahun beliau tak mengunjungi lagi desa yang terkenal dengan Joko Tingkir itu.
Agak lama Pak Bambang bergeming menentukan sikap yang tak bisa dibilang menghapus aura bijaknya juga kelemahlembutannya terhadap pegawai yang mengabdi pada sekolah unggulan ini. Dan menghasilkan:
“Begini, Pak Kamsir adalah orang yang paling berjasa di sekolah ini. Tanpa Bapak, sekolah ini tak bisa bersaing dengan sekolah luar pulau ini. Hanya….” Masih ditahan dengan pandangan beliau yang akhirnya terlempar ke arah bebukuan di pojok kanan meja kerjanya.
“…. Kalau Bapak bisa menemukan orang yang paling dipercaya untuk menakhodai tempat Bapak sekarang, Bapak dipersilahkan untuk pamit.” Itulah hasilnya yang membuat Pak Kamsir bingung seribu bahasa.
Benar juga kata Pak Bambang. Bila tak ada yang bisa dipercaya dan berkompeten, tak bisa pula lah beliau mewujudkan keputusan untuk kembali ke kampung halaman. Selama tiga hari tiga malam, beliau merenungkan cara dan siasat untuk bisa mencapai kandidat yang memenuhi kriteria beliau sendiri.
Seperti biasa, Rudi menukangi posisi asisten teknisi Pak Kamsir dari kelas X. Dengan ceritera jelasnya, Rudi tak bisa membendung semangatnya sewaktu jam pelajaran Teknologi Informasi dengan mengeluarkan bakat yang sudah terasah sebelumnya. Rudi mewakili developer muda sebelum masanya yang sedang mencari jati diri di bidang IT. Apakah akan jadi UI Designer, atau Technical Engineering, atau juga Back-end Developer, bahkan Front-end Developer sudah menanti untuk dijajal Rudi saat mulai merintis kariernya di bidang IT.
Tak bisa diganggu gugat. IT adalah salah satu organ hidupnya yang sudah mendarah daging semenjak dikenalkan padanya di usia depalan tahun. Ayahnya, Pak Indra, memang gemar bongkar pasang peralatan komputer karena memang menggiati usaha di bidang IT. Melihat ayahnya yang serius menahan fokus mengoprek kotak besar yang jadi otak komputer, yakni CPU, Rudi kecil turut serta menumpahkan pandangan terhadap tangan yang sedang menyolder urat nadi CPU yang tengah sakit itu. Untungnya, Rudi anak yang tak mau mengganggu ayahnya dengan pertanyaan-pertanyaan usil layaknya anak polos normal yang tak mengerti apa-apa. Ia diam, memperhatikan, dan meresapi. Timbullah keinginan terjun ke bidang yang sama dengan ayahnya.
Memang, ia tertarik dengan komputer karena kejadian itu. Tapi, Rudi memutuskan lebih memilih mendalami bahasa komputer yang kompleks agar dapat bekerja sama dengan ayahnya. Bukannya ditentang, malah ayahnya langsung meminta bantuan kepada temannya yang membuka kursus komputer tanpa diskusi dengan anaknya itu. Setahun kursus komputer dasar, Rudi masih haus dan merasa jauh dengan pencapaian jangka panjangnya untuk menguasai beragam bahasa pemrograman.
Datanglah seorang pembimbing bahasa pemrograman termasyhur dan pastinya mutu terjamin. Merdeka Putra Levta, yang dijuluki pangeran bahasa pemrograman dengan segudang pengalaman dari ujung titik sampai ujung titik koma. Ia masih muda kala itu, baru menginjak dua puluh tujuh tahun, sudah menyediakan jasa mengajar bahasa pemrograman dari yang dasar sampai lanjutan bagi peminat dari ujung Sabang sampai Merauke.
Pencari ilmu petualang memang sudah jadi tren setelah Pak Ghana memutakhirkan itu di era nya. Maka dari itu, di umur sepuluh tahun, Rudi sudah kenalan dengan C++, Visual Basic, PHP, sampai Java. Canggih kali anak ini. Lancarnya, di usia empat belas tahun ia mampu menjajal keempat bahasa itu sampai khatam. Merdeka mau mengajak Rudi berkembang di alam teknologi ini. Setahun pertama, memang Rudi merasa keempat itu tak bisa ia jajal secara cepat dan ada gagasan untuk menyerah.
“Kak, waktu dulu, ada terpikir untuk berhenti belajar komputer?” tanya polos penuh makna dari Rudi yang saat itu masih sebelas tahun.