Rumus Angan

Azizul Qodri
Chapter #17

Kepingan 17: Jas Merah Pangkat Dua, Bung!

Evolusi pemikiran manusia memang lezat diangkut dari panggangan dengan tujuan untuk dijadikan lauk primer dalam tema pembicaraan atau lebih tepatnya ghibah. Dan menjadikan tiap sisi dari lauk pokok itu sebagai standar pembobotan untuk manusia lain. Lahir dengan kemampuan normal dari segi cakap, tapi abnormal untuk ihwal pokok pemikiran yang tak pendek, mengakibatkan permasalahan apa pun pasti dilibas. Dengan contoh yang sudah dijabarkan: Andra, Ayu, Indri, Ilham, A Gong, Mifta, Ganesha, Anggirin, juga Olivia berturut-turut menguasai tampuk teratas yang dihuni kelas orang-orang aneh.

Dibawah mereka yang mengisi kursi di kelas itu sebagai orang aneh memang tak kalah cemerlang. Namun, ada satu yang paling kritis soal kekuatan evolusi berpikir dari masa ke masa. Evolusi itu memang merubah tampilan dalam isi otak, berprilaku, juga menegakkan moral yang tak pelak disebut sejarah.

Mengidolakan Presiden pertama dari Republik yang sudah tujuh puluh dua tahun berevolusi tiap incinya gagasan bertabiat dan berkompeten di bidang yang sudah disediakan secara sukarela. Garendra Yudi optimis bukan berprilaku kemasyarakatan dari orang-orang penting itu yang dipermasalahkan, tapi berprilaku akan diri sendiri itu yang harus di oprek lebih dalam lagi.

Kenapa?

Agar kasus yang menjerat nama-nama penting di media pers tak lagi menjadi langganan pesimisme rakyat yang dipimpin. Ia menilik lagi garis permasalahan yang menyebabkan hal itu. Tak ada yang salah. Walaupun ada, harusnya tak diterapkan lagi sampai sekarang.

Hingga menyebabkan makin ke sini makin blangsat. Tak ayal, tempat kehormatan yang sudah mereka pegang, menjadi tempat bercokol para mafia, penjahat, juga tikus dengan pakaian rapi, mentereng, juga bergengsi. Mereka yang diyakini juga dari bawah memulai hal itu semua. Tapi, silau dengan harta seakan lumrah dan titik balik dari kerendahan hati yang tampak elegan berubah gelap menjadi keangkuhan.

Sang wakil Dewan Siswa itu ingin merubah tatanan berpolitik yang dapat diterima pelaku politik dengan lahap tanpa dimuntahkan kembali. Juga menutup rapat-rapat kemungkinan ini-itu yang membuat semua pihak tidak senang dan berat di satu pihak yang disebut juga keadilan. 

Orang pintar selalu bosan dengan yang ada.

Benar (kah?).

Dimulai dari idola kedua Garendra – calon tokoh penggerak inisiasi politik baru yang lebih santun, transparan, juga tak bertele-tele – yakni: Ir. Soekarno yang menggerakkan seluruh muda-mudi juga dari kalangan paruh baya yang punya kekayaan intelektual dalam membasmi pemikiran terjajah oleh negara bunga Tulip.

Sang penggerak yang sangat ia kaguni. Poster berukuran setinggi badannya bergambar Soekarno berdiri tegak full body menatap tajam ke arah nya yang tertempel di dinding kamar dengan posisi berhadapan langsung seketika membuka pintu menjadi bukti kekaguman mutlaknya. Barisan kronologi hidup Sang Bapak Proklamator sudah diresapi dalam-dalam hingga bila diadakan ujian dengan soal sejarah Soekarno, ia pasti dapat nilai sempurna.

Tapi, semenjak ia menjadi wakil Dewan Siswa, tak banyak waktu yang bisa disisihkan untuk bertukar cerita dengan salah satu idolanya itu.

Benar.

Ia selalu bertukar pikiran dan berdiskusi tentang rencana yang akan ia ambil kepada Sang Penggerak. Mulai dari usulan dari murid untuk para pengajar, inovasi yang akan ia kembangkan untuk bisa berkarya, atau saat dimarahi ayahnya karena lupa mengunci pintu depan saat malam hari, bahkan untuk memilih pakaian harian untuk keluar rumah saja berkonsultasi dengan Soekarno.

Apa pun itu.

Terkecuali, satu hal sensitif yang belum bisa ia kenali dan identifikasi. Hal yang tak masuk akal baginya untuk ditelisik. Ia selalu merasa syak juga sangsi akan hal tak logis itu.

Cinta.

Lihat selengkapnya