Hiruk pikuk kota Berlin akhirnya terpancar di hadapan mereka. BERLIN-TEGEL Otto Lilienthal menjadi saksi bertamunya kelima remaja pasukan ilmu yang sudah kenyang pelajaran sekolah. Sampai-sampai harus dibuktikan lewat ajang olimpiade sains level internasional. Bukan main ajang itu akan mendera mereka tanpa ampun. Namun, bukan itu yang ditakuti mereka. Melainkan, deburan angin salju yang saling tiup-meniup ke ujung rambut sampai ujung kaki. Beruntung sebelum mendarat, kostum musim dingin yang mereka pakai di pesawat tadi menjadi tameng kuat penangkal suhu dingin di langit Eropa.
Selain mereka, terlihat juga, beberapa rombongan pasukan ilmu dari negara lain baru bertamu ke Jerman dengan gerak-gerik yang pastinya udik.
India, Tiongkok, Jepang, Vietnam, Bangladesh, Thailand, Mesir, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, Arab Saudi, Iran, Turki, Chile, Ekuador, Meksiko, Panama, Kongo, Senegal, Kamerun, Maroko, dan Kuba menjadi pasukan ilmu yang nampak udik saat datang ke Tegel, bukan Tegal. Bisak-bisik satu sama lain nampak terdengar jelas menandakan impian impossible mereka saat ini terpampang dihadapan mata.
Andra yang menguatkan diri untuk tak terlena, juga takluk dengan gemerlap bandara megah ini. Langit-langit besi yang silang-menyilang bercucuran di atas nya. Langit impian yang dicapai dengan logika. Ia tak membantah, kalau punya angan itu adalah hal yang benar. Lagipula, Pak Ghana yang sering berhadapan dengan logika juga punya angan yang sudah beliau tebus.
Segera setelah tersadar langkah kaki kanan sudah menapakkan daratan Eropa yang diwakili oleh Jerman, Andra harus mengabarkan keadaannya dengan Ayahnya dan tentu saja, Ayu.
Jam empat sore waktu Malaysia, mereka sudah touchdown ke langit Eropa. Melampaui batas, menyebrangi laut lepas, dan dalam sekali napas mereka sudah merasakan angan-angan mereka terbebas. Gemercik laut yang terhempas dihembuskan angin, lambaian daun kelapa yang manja saling menghempas satu sama lain, juga aliran awan yang beribu-ribu kilometer jauhnya menyusupi pesawat yang membawa pasukan ilmu itu. Dan lima belas jam lamanya meruntuhkan keraguan akan angan, sesaat setelah jaket tebal mereka tersentuh cakaran suhu dingin yang datang menyambut mereka.
Baru tiga belas derajat Fahrenheit tersentuh. Kegiatan menggigil mereka tertahan oleh megahnya bagian dalam bandara internasional Tegel, bukan ubin. Arsitektur ciamik perpaduan antara gaya Bavarian lama dengan modernisasi komponen penyangga tegaknya bangunan itu. Belum lagi bangunan lain diluar yang tak sabar untuk menyambut mereka.
“Kawan-kawan, apapun yang terjadi kita harus fokus!” Ganesha yang sebenarnya terlena mengajak kawan-kawannya terutama dirinya untuk tetap menatap tujuan mantap mereka. Sambil tetap menerapkan langkah menuju jalan keluar tentunya.
“Nanti dulu fokusnya, ini Jerman, boi!” kagum bukan sembunyi Mifta yang sedari tadi tak berhenti menatap sekujur tubuh bandara itu. Setiap bagian mulai dari lantai, tiang-tiang, aksesoris ala bandara, kios-kios bandara, penunjuk jalan, sampai dinding dari kaca pun tak berhenti ia tatapi.
Dia memang tak terlalu senang Fisika, tapi ia merubah haluan dan mantap mengumumkan bahwa ia ingin jadi arsitek dengan gaya seni yang berkualitas maknyus. Dan itu berarti, ia harus berguru dengan Ganesha ataupun Anggirin.
“Boi, aku mantap ingin jadi arsitek.” Sambil menoleh ke arah Ganesha yang lebih tertarik dengan budaya sosialisasi orang-orang Jerman. Tak terlalu spesial nemang, tapi mereka tak kalah ramah dengan orang Indonesia.
“Hah? Apa? Oh…. Silahkan, nanti kita sama-sama belajar Fisika teknik sipil yang terkenal angker.” amboi Melayu memang sering sekali hiperbola.
“Jangankan Fisika teknik sipil, Kalkulus tingkat lanjut pun aku hadapi! Demi arsitektur bangunan impianku apapun akan aku lakukan.” bermimpi juga jadi salah satu kebiasaan Melayu dan itu tak salah.
“Bangunan impian? Memangnya kau mau bangun apa?” meski lanjut berdialog, Ganesha belum lepas pandangan dengan tetap mengurai langkah satu per satu tanpa berhenti.
“Bandara internasional di Pangkalpinang! Hahaha!” tetaplah bermimpi sampai hidungmu meleleh karena tak tahan dengan merahnya warna ujung batang hidung pikir Ganesha.
“Nah, kita hampir sampai di luar bandara. Anak-anak kalian harus persiapkan diri untuk terpaan suhu yang mungkin bakal diluar perkiraan.” Pak Ghana yang memimpin jalan sekompi pasukan ilmu terhenti sejenak menegaskan Jerman takkan melunak.
“Aye-aye kapten!” kompak kelima murid tiri dari guru angkat yang tak mengajar di sekolah secara langsung itu.
“Apa yang….?” bingung akan pola jawaban itu, beliau tersentak dan menoleh sinis ke arah Zevanya yang menyiul-nyiul seolah tak bersalah.
“Zev, kita sudah di Jerman, pulang dulu sana.” objektif nomor satu dari Pak Ghana adalah membimbing murid-murid kelas wahid ini baru setelah itu mengantar pulang perempuan yang sekonyong-konyong datang ke rumahnya tanpa izin.
“Ini masih bukan rumah ku, Ghan.” pintanya dengan gaya sedikit manja.
“Aku sudah lupa rumahmu, lagipula aku harus mengantar anak-anak ke hotel yang sudah dipesan. Kita juga belum….” lelaki dengan tinggi seadanya itu berusaha menjelaskan dengan sebaik mungkin kalau laki-laki dan perempuan dalam satu rumah tanpa ikatan itu hukumnya haram.
“Alibi kamu. Ajak saja mereka biar tak terjadi fitnah, kan? Kalian setuju???” penolakan terhadap pernyataan Pak Ghana yang terpotong membuat skor berbalik 2-1, ditambah bermain suara dengan murid-murid udik yang tak ada hubungannya sama sekali, menjadikan keunggulan telak atas perempuan Jerman yang lebih mahir berbahasa Indonesia dari yang mereka duga.
“SETUJU!!!” empat pemuda spontan mengiyakan permintaan Zevanya dengan sekali napas.
“Dimana Andra?” pertanyaan pengalihan dari Pak Ghana yang tersudut oleh murid-muridnya sendiri.
Sementara di sudut belakang yang tertutup oleh keramaian orang-orang bertinggi jangkung, Andra menjangkau ponsel dengan niatan menghubungi ayahnya juga Ayu. Dengan mengkalkulasi waktu sekarang tak akan mengganggu mereka yang menunjukkan jam 13.38 p.m. di penunjuk waktu bandara. Berarti 06.38 a.m. seharusnya masih bercokol di jam tangan Ayu yang selalu di tempelkan nya setiap pagi menjelang berangkat. Setidaknya, ia ingin mengantarkan sepatah dua setelah janji kabar-kabari itu ia kibarkan.
Merepotkan memang.
Belum ia harus atur dulu panggilan luar negeri yang cukup rumit dan kompleks. Menanyakan ke bagian administrasi adalah hal yang terbersit dipikirannya agar tak merepotkan kawan-kawan lain. Perempuan dalam bilik di balik kaca besar dengan bertuliskan ‘Information’ besar-besar itu gerak cepat menyambut kedatangan pemuda Asia Tenggara yang pastinya takkan paham bahasa Jerman alot sehingga memastikan bahwa informasi jawabannya sampai ia pakai bahasa internasional yang merakyat, Bahasa Inggris.
“Excuse me, Miss.” Sapaan yang sopan harus dihantarkan dulu untuk orang yang baru dikenal, ditambah untuk orang mancanegara.
“Good afternoon, Sir. Is there anything I can help?” sapaan sopan pun pasti dibalas dengan respon cepat nan sopan pula. Bagai hukum gaya dari Fisika: aksi pasti dibalas dengan reaksi.