Rumus Angan

Azizul Qodri
Chapter #20

Kepingan 20: Hendak Seribu Daya Tak Hendak Seribu Dalih

Hari ini adalah pesta ilmu pengetahuan dibalut kompetisi mahal nan luas di Berlin. Alam pun seakan merestui pasukan ilmu yang berduyun-duyun datang mewakili negara masing-masing. Pedang ilmu sudah disandang. Busur panah mulai disingsing bersiap melontarkan anak panah melawan musuh jarak jauh. Baju besi berderak garang melintasi gerbang medan perang. Kuda perang meringkik tegas menyatakan siap menyusuri barisan lawan. 

Pasukan Bhayangkara Garuda turun dengan kebanggaan pedang ilmu dan tameng pengetahuan yang memang terasah secara alami sedari dini. Mereka mungkin tahan banting juga kokoh karena sering diterpa badai dan ditempa goncangan hebat di setiap Olimpiade Nasional yang mereka hadapi. Ilmu mereka sudah bintang lima dengan deretan bintang gemintang bersih tanpa karat. Yang artinya, kemampuan analisa sains mereka tanpa cacat, tanpa galat, dan yang pastinya hebat.

Itu terbukti saat Josua Geirringer, supir taksi senewen yang sambilan ikut olimpiade sains. Usianya memang terbilang muda dan bisa membagi waktu antara sekolah dan mengais rezeki. Momen saat mata biru safir berbinar di antara butiran salju yang terjun bebas semakin deras saat suhu yang mengepung mereka tidak ada lagi ruang untuk panas, memindai pemuda yang tak lebih tinggi darinya, lalu terasa otaknya masih belum sampai level itu. Alhasil, merasa terancam dengan ilmu yang ia miliki masih separuhnya, ia menghambur ke cab kuning warna formal sebuah taksi dan tanpa kontak fisik sedikit pun, hanya kontak mata yang membatin. 

Mimpi apa aku semalam, pikirnya. Delegasinya tidak ada satu pun yang seimbang dengan cara ia menyayangi ilmu yang dimiliki. Memang benar, selalu haus akan ilmu baru, tapi tak pernah disayang, dirawat, dan diperlakukan sebagai suatu pengetahuan yang dapat memberikan gap antara dirinya dengan orang lain. Yang bisa dibilang, mereka secara tak sengaja melupakan ilmu lama yang tak terpakai lagi, namun amat berharga nilainya hingga dijuluki ilmu antik.

Kapasitas otak manusia memang terdapat batas dan dapat dihitung dengan beberapa jengkal-jengkal pendek yang diibaratkan seperti beribu-ribu kilometer jauhnya. Di Berlin, gedung serbaguna Universitas kota Berlin akan menjadi saksi bisu sengitnya persaingan delegasi tiap negara yang mempertaruhkan harga diri bangsanya. Gedung itu nampak seperti bangunan tua bergaya benteng kastil kokoh tempat raja ilmu bernaung. Dalam lingkup pendidikan, raja itu sangat bertanggung jawab terhadap ilmu-ilmu yang mengalir di tiap-tiap otak mahasiswa pengabdi ilmu. Raja itu juga tak segan menghukum pengabdi ilmu untuk secara tak sadar ditarik ilmunya bila tak bersua ulang dengan rumah-rumah penyaji ilmu. Jendela-jendela rumah itu terbuka lebar dalam carik demi carik kertas yang juga mengelilingi tiap sudut gedung yang dapat dipergunakan untuk tujuan apapun itu. Maka dari itu, tersebutlah buku adalah jendela dunia. 

Lalu, disebut apa mesin pencari daring yang sering jadi andalan para mahasiswa pemburu banyak hal dengan macam: pemburu ilmu, pemburu nilai, pemburu tanda tangan dosen, sampai pemburu status sosial demi bisa mendapatkan keadaan dikenali banyak tautan di berbagai perusahaan agar tak susah bila tamatkan bangku sivitas akademika. Yang terakhir memang cemerlang. Bagaimana tidak? Penyumbang pengangguran terbesar berasal dari pelaku sivitas akademika jua.

Cara menatap udik squad jenius KaSa yang menantang deburan ombak samudra ilmu sampai ke Jerman, nampak natural adanya. Bersilang-silang besi penyangga atap menyaksikan pemuda-pemuda yang bahkan mereka pun masih menyangsikan kehadiran udik yang masih mereka bawa ke Jerman. Olimpiade sains internasional jilid sebelumnya menyediakan delegasi dari berbagai penjuru kampung. Tiap daerah pasti mengutus setidaknya satu murid kebanggaan dengan bekal ilmu yang luar biasa.

Namun, kata terakhir itu hanya menyembul diantara mereka yang mengenyam pendidikan unggulan Pulau Bangka. Kelima orang itu memang dibanggakan daerah sendiri. Andra diutus dari Pangkalpinang, daerah Koba mengirim Ilhamsyah Basyir, Sungailiat ada Miftakhul Huda, A Gong sebenarnya dari Belinyu hanya saja ia mendomisilikan dirinya di Pangkalpinang agar bisa dekat sekolah, dan yang agak kurang jelas adalah Ganesha. Asbab, orang tuanya memiliki kebun di daerah Jebus dan otomatis agar lebih mudah monitor tiga hektar kebun sawit dan lada yang tak cukup menggembirakan, maka ia mesti pulang-pergi setiap juma'at dari kontrakannya di Pangkalpinang, tak beda jauhlah dengan A Gong yang menekuni bidang Hoklopan tingkat master dengan A Siong.

Haiya…. Berat juga ini melawan pelajar global.” A Gong menderukan pesimistis yang seharusnya sedari diutus menjadi perwakilan pasukan Bhayangkara.

“Terlambat. Harusnya sedari awal kalau mau mundur.” Andra menyela makin menurunkan mental.

Lihat selengkapnya