Rumus Angan

Azizul Qodri
Chapter #21

Kepingan 21: Mi Amo Mi Amigo

Jadwal kedua adalah A Gong. Semangat Hoklopan nya teraplikasi secara jelas dalam menatap pelajaran Biologi. Akhirnya ia mau sebentar saja memperhatikan bidangnya ini. Bukannya ia congkak, dan jangan sampai tabiat A Siong yang sudah mengakar belukar di sanubarinya itu terjangkit ke pemuda andalan Indonesia di bidang Biologi ini. Kalau terbayang, malanglah nasibnya.

Melihat Ilham yang mampu memancangkan kepercayaan dirinya di atas puncak podium tiga tingkat dengan medali emas salinan gigi kebanggaan Pujangga Z. Alhasil Z yang di Jerman lah yang mewakilinya. Zevanya, yang membawa dirinya seakan-akan ia lah pengasuh kelima pemuda melek ilmu itu, berulang kali mondar-mandir memikirkan cara untuk bisa menyisihkan sedikit waktu sampai hari Jum’at menghadiri olimpiade sains internasional itu.

Itu hanya alibi. Yang sebenarnya adalah dia ingin terus mendesak Pak Ghana agar meluangkan pikirannya untuk kelangsungan benih-benih asmara antara mereka. Ia yakin Pak Ghana tak bakal berkata “tidak”, karena bungkusan kecil yang terus menerus di bawanya dari Indonesia sampai Jerman. 

Bungkusan itu adalah sebuah cincin.

Dengan benar Zevanya memberikan tebakan yang jitu lagi tepat. Dan dengan percaya diri penuh, ia melontarkan jawaban yang memang sensitif dikonsumsi anak muda. Tapi, jikalau seorang Ghana Zubair bin Isnan Syafiq sedang merencanakan sesuatu, harusnya sekarang adalah saat yang tepat. Atau memang benar-benar menunggu kelima anak didik tirinya selesai berjuang di medan perang. Antara dua mungkin.

Hari pertama kemarin untungnya tak absen dalam memberikan dukungan pada Ilham yang nampak tak ada beban menyabet nilai sempurna. Dapat emas pula. Sedikit banyak, setidaknya memberikan kesan seperti orang tua yang baik untuk anaknya.

Dan, hari ini yang kedua perhelatan olimpiade sains internasional. Satu orang delegasi Pasukan Garuda cukup percaya diri melemparkan medan perang itu ke hadapannya. Biologi. Bukan Hoklopan, sahut Mifta yang memang sungguh jahil dan tak tahu malu kalau mereka sedang tidak di kandang.

A Gong, bermata sipit khas Hokian yang sudah diserap oleh orang Bangka, masih ingin mengernyitkan dahi yang cukup lapang dengan seperempat rambutnya merosot ke belakang pertanda punya masa depan cerah, padahal matanya sudah sipit seakan sebiji beras putih yang kecil itu dibelah lagi menjadi dua bagian. Nah itulah ukuran matanya jika tertawa ataupun sedang penasaran.

Dari sisi manapun, A Gong atau dengan nama keren Gerardo Martin tak terlihat tampang minat Biologi sedikit pun. Namun, tetap dengan bakat yang menyembul saat pertengahan tingkat pertama. A Lung selalu memantau setia pertumbuhan anak-anaknya dan mendorong mereka menuju terowongan mereka masing-masing. Terowongan bukan sembarang terowongan. Setelah keluar, mereka pasti akan mendapat kejayaan dan kehokian yang mutlak. Sekarang tinggal A Gong anak ketiga dan terakhirnya yang agak senewen. Rekomendasi ayahnya untuk membuka toko oleh-oleh khas Bangka pun ditolak dan menggantinya dengan usaha martabak manis dengan kenikmatan seperti terangnya rembulan di malam minggu bingkisan untuk mertua.

Alhasil, ia masih saja gontok-gontokan dengan A Lung yang juga keras dalam mendidik A Gong. Semakin keras batu terlempar, semakin kuat pula kegagahan batu itu. Dan sekarang pemuda oriental itu mendudukkan badannya di kursi panas.

Seperti biasa, sistem yang dipakai masih mengerjakan bercarik kertas soal di bangku masing-masing. Anjuran untuk tidak berbuat curang pun tetap bertalu-talu dengan suara perempuan tegas berbahasa Jerman, Inggris, dan juga China. Kurang lebih sepuluh menit habis dipakai perempuan tegas itu untuk menjelaskan sistem yang akan dipakai. A Gong tak ambil pusing, ia menyeringai kecil dengan melemparkan pandangan ke penjuru ruangan.

Terlemparlah ia ke arah Miss Zevanya yang terus-menerus menatap wajah Pak Ghana. Dan itu bukanlah tontonan menarik bagi A Gong. Semenit berputar-putar menyusuri hal unik untuk dilihat sekaligus merekam suasana yang menekan namun, tak berarti bagi orang sepolos Hokian dengan tinggi 159 cm ini, akhirnya ia temukan hal itu. Gadis dengan badge bendera merah kuning merah dengan julukan Red Fury, Spanyol, nampak dengan anggun mempraktikkan tangan halusnya seakan memetik senar halus dengan jumlah empat dan disandangkan di leher.

Lihat selengkapnya