Rumus Angan

Azizul Qodri
Chapter #22

Kepingan 22: Malam Kapas Berkilauan

Belum selesai isu antara Pak Ghana dan calon Bu Ghana yang masih samar akan ujungnya, Andra pun dihantam oleh keterbelakangan sifat Ayu dari biasanya, juga ihwal mengejutkan dan sensasional di atas kapabilitasnya sebagai bocah logika: ultimatum kedua Indri. Ia seakan dikejar hutang yang sangat mencekik jasmani serta rohaninya. Padahal jika dipikir lagi, seharusnya itu takkan jadi sebuah bongkahan batu besar.

Karena Indri ingin menyelesaikan permasalahan ini ke Mahkamah guru secepatnya dan mencabut posisi Andra yang ia anggap takkan becus menerima tampuk kekuasaan ketua kelas unggulan. 

Sampai segitunya, pikir Andra.

Ya memang. Inilah kesalahan bila berurusan dengan Indrianti Syakil yang menasbihkan diri sebagai calon jurnalis hebat menyaingi idolanya: Najwa Shihab. Gadis dengan perawakan wanita India muda yang tinggi seadanya ukuran normal pemudi Bangka, namun punya tekad dan nekat yang begitu dekat. Singa Betina julukannya. Jikalau lawannya menyandang predikat Mami Tiri, si gadis berparas Asia Selatan yang lantang dengan legenda Anak Asia itu dapat predikat Singa Betina.

Oh benar, ia takkan main-main dengan Andra. Setiap mendengar nama itu, Indri segera menoleh ke arah sumber suara dan memasang paras: Aku takkan mati sebelum berjuang demi jabatan yang jatuh ke tangan penjahat logika sepertimu, skurken.

Dan kata-kata mutiara itu meluncur ke penglihatan Andra melalui pesan media sosial yang tak memanfaatkan nomor sambungan jarak jauh yang tak dimengerti Andra ketika di bandara Tegel, bukan Tegar. Andra memang tak akrab dengan media sosial untuk chit-chat ria apabila tak ada hal penting selain informasi tugas, belajar online, menanyakan kabar ayahnya, dan baru-baru ini untuk akrab dengan gadis masa kecilnya, Ayu Hastri Ananta.

Ya, relasi mereka terbangun dengan baik. Setidaknya inisiatif Ayu yang menukanginya. Untungnya, Andra tak ambil pusing. Bila mereka berdua saling menaruh perhatian lebih, Indri lah yang akan geragasan. Sepertinya, dengan melihat mereka berdua makin akrab, Indri memanaskan dirinya sendiri dengan temperatur tingkat tinggi.

Andra bingung mengatasi Singa Betina yang kehilangan gigi taring sebelah kanannya sewaktu kesulitan menerkam Wildebeest yang lebih senior darinya. Walaupun dengan satu taring, singa itu masih tetap menerkam secara kontan tanpa cicilan. Dan sekarang, Andra telah masuk radar yang akan dipermalukan oleh si penggiat jurnalistik. Tapi, ia tak pernah mencari-cari perhatian untuk dapat panjat sosial. Gadis itu bisa mencapai sendiri status sosial yang bisa dielu-elukan publik.

Mak Cik Najwa Shihab contohnya. Beliau tangguh dengan tetap mempertahankan taring jurnalis tanpa pernah mau mengakui bahwa orang yang diajak bicara itu sepenuhnya benar. Kalau pun pernyataan orang itu benar, hanya mendapat delapan puluh persen saja keyakinannya. Sementara Indri, cukup tujuh puluh persen saja.

Kepercayaan diri Andra pun lindap. Terkikis sedikit demi sedikit akibat pembangunan relasi yang ditukangi Ayu. Pemuda itu mencoba untuk mencari pembenaran yang biasa ia lakukan. Hanya masalah ini saja yang mampu menumbangkan seorang Andra.

Meninggalkan hotel sekitar dua langkah, Andra terkesiap dengan meriahnya perayaan hari besar ujung tahun Masehi berupa ciri khas pohon cemara sejati. Mulai terbiasa dengan raupan suhu minus Berlin tak ujub dan sekonyong-konyong bercanda ria mengikuti dansa salju putih, Andra mendudukkan raga di kursi tepi jalan yang mulai diselimuti butiran putih. 

Tiap hembusannya ia bisa mengeluarkan embun segar yang mengasapi lagi salju yang turun. Full armor sudah ia kenakan. Sampai tiga lapis baju kaos dengan tingkat penyerapan keringat di atas dua puluh persen, melekat di jasadnya. 

Sebentar-sebentar ia menoleh ke arah gang sempit tempat bertemunya wajah samping dinding apartemen receh di balik pohon Natal raksasa di tengah kota. Sebanyak-banyaknya ia melihat orang-orang bercanda dan bergurau ditemani semangat Snow Dance Festival yang diadakan Pemerintah Berlin kala itu, ia tertahan dengan sosok kakek tua di sudut gang sempit yang menyampingkan pandangan. Pria paruh baya yang lusuh itu berperawakan compang-camping, tumbuh lebat jenggotnya, bertopi kupluk, juga kehilangan kaki kiri. Entah di Jerman memang kurang ketat dalam pengawasan sosial atau memang pengemis itu punya lapak tersendiri disitu, tapi yang jelas, publik tidak terganggu akan kehadiran beliau.

 Untungnya salju tak mengalir deras, menggerayangi balai kota yang luasnya lebih dari alun-alun Taman Merdeka Pangkalpinang. Kelilingan gedung-gedung apartemen yang mulai dari berkelas hingga receh pun tersusun mengkotak di depan mata.

Town Square lebih tepatnya.

Namun, ia lagi-lagi mendapati tingkah aneh dari banyaknya populasi dadakan di kotak kota ini. Ada satu orang yang mungkin nampak berbeda tabiatnya. Ia seakan-akan membawa sesuatu yang besar didalam mantel tebalnya yang berwarna gelap. Dengan rasa percaya diri, laki-laki yang belum uzur umurnya itu mencari tempat padat populasinya. Ia berjalan dari kanan pandangan Andra dan tanpa disadari, ia sudah berada di seberang sudut balai kota.

Memanfaatkan sebagian rakyat kota Berlin yang hiruk pikuk menyesakkan Town Square membawa sejuta keceriaan dan kebahagiaan. Meskipun begitu, entah kenapa Andra merasa ada yang tidak beres dari penampakan pria itu. Tinggi menjulang badannya, tak terlalu jelas titik-titik parasnya asbab ditutup scarf merah marun dengan jahitan tumpang tindih dengan hitam, celana dan sepatu serba hitam yang belakangan diketahui ia adalah seorang penipu mata dengan kecepatan tangan sederas kilat. Dilengkapi trik juga tipu daya dengan rapih tersimpan di tas besar sandang satu berwarna hitam pula yang dapat digunakan untuk manusia yang panjang imajinasinya.

Seraya Andra membalas percakapan daring di media sosialnya dengan siapa lagi kalau bukan Ayu, ia terus menatap lekat pria pesulap itu. Kerumunan orang pun mulai penasaran dan menyambutnya dengan tanda tanya besar. Pria itu melebarkan kedua lengannya dan menganggap ia sudah banyak menguasai trik sulap. Kemudian melantangkan namanya: “Mr. Wizard” dengan langsung bersiap memulai trik yang memuaskan beragam mata yang datang.

Trik 1: dimulai dari trik receh para pesulap master yang sudah berserakan di dunia: membengkokkan sendok. Dengan halus ia memperlakukan sendok itu agar mau menuruti kemauannya. Tanpa berontak, sendok itu patah digoyang-goyang dengan yang katanya kekuatan sugesti. Jadi, tepuk tangan seadanya memberikan penilaian cukup untuk pria itu.

Trik 2: ia mengeluarkan jubah hitam dengan dalaman merah yang entah apa fungsinya. Cukup lebar. Apabila kalau jubah itu dipakai untuk melindungi diri dari serangan suhu minus. Mulailah ia komat-kamit mendeskripsikan apa yang akan ia lakukan. Menghilangkan meja pinggir jalan seperti yang sedang diduduki Andra. Trik yang cukup membelalakkan mata. Mula-mula pria itu melemparkan jubah itu sejauh kursi itu memanjang. Setelah sampai ujung jauh, ia bergegas menutupi jubah di ujung dekat agar tertutup semuanya. Tak lengkap kalau tanpa komat-kamit menggumamkan mantra penghilang. WUSSH! Alhasil, wujud kursi itu nahas bagai ditelan bumi. Tambahan tepuk tangan riuh rendah mulai mengakui kehebatan pria bermantel gelap itu.

Trik 3: selesai didera oleh tepuk tangan riuh, Mr. Wizard masih belum puas dengan penilaian penonton. Lanjut, ia akhirnya membuka tas sandang besar itu dan mengeluarkan gulungan kertas lusuh agak kekuningan mirip suatu perkamen dan mulai perlahan membuka gulungannya. Andra yang tak nampak akan perkamen itu mulai memotong jarak dan menyusup masuk ke keramaian. Perkamen itu diisi beberapa benda pusaka yang hanya tercantum dan tergambarkan saja. Berturut-turut benda pusaka itu: trisula, tombak, dan keris. Bukan wujud yang nyata. Itulah tujuan Mr. Wizard ini. Ia akan menjadikan nyata pusaka antik yang di gambar di dalam perkamen. 

Bintik-bintik salju semakin terasa. Ia tutup kembali perkamen panjang itu dan….. sekali lagi membaca komat-kamit dihadapan perkamen yang tergulung itu. Menepuk-nepuk sedikit dan membuka kembali perkamen itu. Tak nampak apa pun lagi didalamnya. Tak ada wujud nyata ataupun gambar pusaka-pusaka antik dengan jumlah tiga benda yang tadi dibiarkan terkena bintik-bintik salju. Sejurus kemudian, hal yang tak bisa di tebak terjadi. Ia nampak tersedak akan sesuatu di tenggorokannya. Perlahan-lahan ia membuka mulut lebar dibawah payung hidung yang cukup mancung diselimuti jua dengan scarf gelap, dan sedikit menjijikkan, ia mengeluarkan trisula mini terbalut perban hitam di gagangnya sedikit demi sedikit sebagai pusaka pertama yang ditampakkan. 

Tak ingin kehilangan momen menakjubkan karena sedikit menjijikkan, ia menjentikkan jari tengah dan jempol pertanda sudah menuntaskan bagian pertama dari trik ini. Ia menunjuk salah dua penonton untuk dijadikan partner. Datanglah satu orang laki-laki bertubuh tegap gempal gelap ditemani satu orang perempuan bertubuh tinggi jangkung dengan wajah penasaran juga tak menyangka akan dipanggil. Mr. Wizard menginstruksikan untuk membuka masing-masing tas yang dibawa mereka. Si laki-laki membawa tas ransel sandang belakang dan si perempuan membawa tas sandang samping pendek untuk berbelanja. Si laki-laki mengeluarkan tombak rakit yang dipendekkan, sementara si perempuan menyibakkan benda seperti keris yang disarungkan dengan balutan kain batik khas Jawa Tengah di gagangnya. Lebih meriah tepuk tangan yang mengapresiasi si pria mancung dengan kupluk gelap berbalut scarf di lehernya. 

Trik 4: sebagai penutup, pria itu kembali memanggil relawan untuk menjadi partner. Seorang gadis menunjuk dirinya sendiri dengan sukarela. Pria itu dengan menyenangkan akan menjelaskan trik terakhir adalah dengan hipnoterapi. Ia akan menurunkan kesadaran si gadis dibawah alam sadarnya, baru setelah itu, ia akan menanyakan pertanyaan dan menebak apa yang sedang dipikirkannya, apa yang sebelumnya terjadi, dan apa yang akan terjadi kepadanya nanti.

This could be break your privacy, so do you still ok with that?” Andra menebak pria ini bukan orang Jerman asli ataupun orang Britania asli.

I'm not sure, but yeah…. I'm okay!” keraguan yang sekilas lewat namun, langsung disapu oleh gadis itu sendiri dengan entengnya.

Okay, let's go then!” semangat pria itu membara seakan umpan yang sudah satu jam ia tunggu akhirnya disantap jua.

Lihat selengkapnya