Garis demi garis yang sudah dilalui cairan pengukur termometer dengan keadaan sekarang menunjukkan sepuluh derajat Celsius! Mifta yang tak ingin kehilangan atribut udiknya, memboikot suhu dingin ini dan bersumpah takkan lagi menginjakkan kaki ke daratan Eropa yang setahunnya dijejali empat musim. Bahkan sampai hari dimana Ganesha unjuk gigi dalam ajang lomba sains ini pun, ia malah bertepekur menganalisis pada jadwalnya akankah cuaca Berlin mengutuknya lebih keras atau melunak dan berdamai dengan bocah berambut keriting cepak macam pemuda delegasi Kongo.
Ampun, tak karuan wajah pucatnya yang terbiasa dihinggapi rona merah tanda sering hangat menganalisis logika berjalan di penghitungan matematika. Harusnya ia bersiap-siap memanaskan mesin otaknya yang berharga satu juta buku-buku ilmu dan filsafat dengan habitatnya di perpustakaan kuno nan antik. Malah problema iklim yang ia sibukkan.
“Makin hari malah makin dingin di Berlin! Otakku jadi buntu!” kritik keras terlontar dari matematikawan muda nan nyentrik itu.
Seperti dua hari sebelumnya, Zevanya mampir dan tanpa henti mencuri perhatian Pak Ghana yang padahal memang takkan lari darinya. Ia sering mengorbankan waktu menjadi ibu-ibu pebisnis yang berada pada level Presiden Direktur. Bisnis yang ia geluti baru-baru ini merambah bidang logistik beragam perusahaan raksasa yang berkeliaran di Jerman. Ia dititipi ayahnya yang tutup usia lima tahun lalu. Jadi, sudah kenyang lah ia dengan jatuh bangun membangun bisnis di level non marjinal.
Bukan berarti ia harus berleha-leha meninggalkan bisnis di tangan orang lain. Ia sadar akan hal itu. Tapi, prioritasnya akan mengejar romansa Ghana Zubair tidak bisa diganggu gugat. Pak Ghana nampaknya sudah mencuri seluruh perhatian Zevanya yang padahal diselamatkan oleh perempuan itu sewaktu diserang suhu minus di Berlin.
Entah takdir yang mengharuskan mereka bertemu dalam kondisi itu. Terkenanglah seketika Zevanya melewati balai kota Berlin yang kotak dan eksotis itu. Bukan hanya sekedar lewat tapi juga mampir. Diantara sekelebat salju yang menukik turun, ia melihat lapak kecil seorang pejuang ilmu dengan fasilitas meja sekolah kayu yang dapat dilipat dan nampak rapuh. Berbagai terpaan badai cuaca sudah diisap sampai dalam oleh pengalaman Ghana Zubair. Tak kenal lelah, juga mau bersusah payah. Sang mantan penjaja ilmu itu percaya akan produk jualannya yang pantang kedaluwarsa oleh waktu.
Kegigihan itulah yang menggerakkan setiap sendi Zevanya dan pastinya dimotori oleh hati dengan sebelumnya tersentuh akan fenomena itu.
“Hör auf, Sir.” pungkasnya yang menginstruksikan tukang taksi cab kuning untuk menyandarkan tunggangannya di bahu jalan.
“Bitte warten Sie einen Moment, Sir.” Sambil menyodorkan telapak tangannya mengisyaratkan untuk meminta waktu sebentar sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke mansion mewah.
Si sopir mengangguk, Zevanya menyeruduk tergesa-gesa menahan gemeretak badan menampung suhu minus yang bertalu-talu. Perempuan itu merasa berat melangkah menyusuri jarak cab dengan lapak si pemberani itu. Terbersit dalam pikiran kalau orang itu memang luar biasa tangguh dan ia harus memintanya untuk mengajari pendirian tingkat tinggi itu. Ghana muda yang sekilas menyusuri pemandangan di hadapan meja lipat itu tersangkut di arah Zevanya yang jatuh bangun untuk bersua dengannya.
Sang lelaki memang seharusnya menjadi tempat sandaran bagi si perempuan dan itu dilakukannya walaupun tak kenal siapa gerangan yang akan dibantu. Gerakan cepat menyusuri tapak salju yang semakin tebal di pojok balai kota itu, berbeda terbalik dengan usaha Zevanya melintasinya. Tumbang adalah hasil akhir dari usaha Zevanya untuk mendatangi Ghana. Namun, tepat sebelum merebahkan diri di hamparan salju, sesosok tangan menyambut raga yang ramping dan mulai mendingin itu. Tangan malaikat itu adalah Ghana muda.
Lima belas menit menantikan kesadaran Zevanya yang akhirnya pulih, Ghana pun sigap menyambut dengan segelas coklat panas buatannya yang ia sendiri pun belum menyentuhnya sama sekali hari itu. Supir taksi yang menunggunya pun turut mengevakuasi Zevanya dan untungnya tidak dikejar waktu. Ia bingung dengan pemuda kurus nan ceking yang menjajakan dagangan berupa ilmu itu mampu menepis deburan dinginnya malam Berlin. Memang, ia melapisi raganya dengan mantel, tapi begitu jua dengan dirinya sendiri yang ditambah scarf juga sarung tangan wol masih tumpas diterjang dinginnya suhu yang hampir nol derajat itu.
“Es ist jetzt normal, bist du okay?” lancar juga si pemuda ini berbahasa serupa dengannya padahal tampang itu cukup asing dari rumpun orang Jerman.
“I’m okay, don't push yourself to speak deutsch. Why do you endanger yourself on this snowy day?” entah karena peduli atau risih, Zevanya terkesan menekan pemuda yang sudah menahan gempuran dinginnya heavy snow selama lima hari berturut-turut.
“I must do this to save the youngster from gadget's attack.” ia menangkis serangan langsung dari tekanan Zevanya.
“But, don't try to do the stupid thing like this!” Ghana memprediksi perempuan ini pasti risih dengan tingkahnya yang tidak santai di cuaca sedingin ini.
“Do you relate with this?” akhirnya terlontar jua pertanyaan kenapa pemudi ini bisa serisih ini dengannya.
“Yes I do! Because, I always care about the homeless people in Berlin. I have been make the charity program for those people that struggling on this abnormal winter.” si perempuan adalah orang kaya yang bersyukur. Ia tak lupa dengan terpaan badai cobaan yang dialami kaum marjinal dengan senyum ikhlas seadanya menerima semua itu.