Rumus Angan

Azizul Qodri
Chapter #24

Kepingan 24: Cahaya Zamrud Khatulistiwa

Hukum Pascal sejatinya merestui tekanan pengangkut hidrolik untuk mengungkit benda yang dua puluh kali lebuh besar saat berhubungan dengannya. Menantang Hukum Pascal berarti menantang pompa sepeda untuk menyuplai angin masuk ke dalam penampang tipis yang melingkari isi dalam ban sepeda. Angin itu juga tak rela jika sekonyong-konyong dimasukkan ke dalam karet ban tipis itu. Bisa saja ia berontak dan memecahkan penampang setipis kulit itu dan memusingkan manusia yang memakainya.

Berlaku jua dengan mental seseorang. Orang yang semakin ditekan keadaan, ia akan semakin terangkat dan meluap dari sifat dasarnya. Beberapa fenomena ekspresi yang abnormal langsung saja secara tidak sopan menyeruak ke permukaan. Salah tingkah namanya.

Ganesha, Fisikawan muda penakluk hukum fisik dengan garis demi garisnya menyumpahi keadaannya saat ini. Momen menginjakkan kaki di Berlin itu membuatnya berapi-api. Tapi, seratus delapan puluh derajat ia menghadap situasi sekarang. Pasalnya, Anggirin titip pesan pada Andra, yang terselip pastinya dari Ayu, kalau ia menyemangati dan menguatkan Ganesha dari jutaan kilometer jauhnya. Ikut disematkan dari pesan itu jua, tak penting hasil yang dicapai, namun usaha yang dilontarkan di negeri orang sampai maksimal adalah cahaya Zamrud Khatulistiwa yang sebenarnya.

Asbab itu, Ganesha merepotkan kawan-kawan lain dengan cara melemahkan mental diri sendiri oleh takut mengecewakan Anggirin lebih dalam lagi. Kawan-kawan lain berbuih sudah menyelamatinya dari jurang gelap itu. Medali emas gigi Bang Kurnia itu takkan menghampiri kamu begitu saja, Kawan. Itulah paling tidak inti dari kata-kata penyemangat teruntuk Ganesha. Tapi, pasak penyemangat Anggirin telah terpasang lebih dalam dan menekan dasar mental pemuda itu. Entah bagaimana ia akan menumpas tekanan batin yang digaungkan oleh pak tua Pascal.

***

Seratus dua puluh menit teng! Puas terpampang dari air muka Ganesha yang kembali berbeda dari raut panik saat mukadimah tadi. Senyum sumringah bersyukur dengan atribut kelegaan lahir batin menyeruak. Senyum menyebalkan itu, senyum yang mengesalkan juga menjemukan bagi keempat kawan yang sudah susah-susah menggempur kepanikan dan gundah gulana si Fisikawan muda. Pertanyaan general yang pasti terlontar bila orang macam ini tiba-tiba merubah topengnya:

“Aku lihat kau tadi diam saja, bagaimana bisa kau balikkan lagi roh kau itu?!” Mifta pun juga ikut emosi dengan orang ini.

“Begini, aku tancapkan nazar kalau aku akan mengejar status Anggirin untuk bisa jadi wanita di sampingku!”

Lagi-lagi cinta, Kawan.

Apa pun alibinya kalau berurusan dengan hal ini pasti akan menjurus ke arah luarnya akal sehat. Entah karena desain interior dari akal sehat itu sudah tak menarik lagi atau pemandangan luas dari akal sehat itu bisa membawa seorang insan mabuk kepayang. Lebih kuat dari bir, bahkan tuak pun kalah jauh. Bukan karena mereka sudah mengenyam kedua benda itu, tapi memang kalau urusan mabuk memabukkan pasti dua itu yang disebut.

“Dra, aku sudah tahu kau sedang mendekati Mami Tiri. Entah sampai mana dekatnya kalian, aku tak tahu. Tapi yang jelas, aku pasti akan menurunkan semangat ilmuwan Fisika kami di keturunan unggul kelak!!”

Teriakan itu sekilas mencuri perhatian orang-orang mancanegara disekitar. Termasuk Pak Ghana yang tercekat dengan perkataan yang tak seharusnya dikatakan anak muda.

“Ehem! Kamu itu belajar dulu tinggi-tinggi, kalau perlu, tuh, ambil pendidikan lanjut di Universitas ini.”

“Tentu, Pak. Sebelum Bapak suruh pun, insyaallah saya sudah pasang target di Universitas Berlin di Teknik Sipil!”

Penerapan yang baik dari passion-nya sebagai Fisikawan pemula. Takkan lagi ia melihat dirinya sendiri terpuruk, terpenjara dalam gua gundah gulana. Hanya ketika ia sudah berada di ujung kesuksesan dan bersiap melompat ke arah yang lebih serius bersama Anggirin.

Tak lama waktu lewat dari Pak Ghana yang mendehem ke arah mereka, Zevanya lagi-lagi dan pastinya menyergap suasana serius penuh semangat itu dengan kebahagiaan dan juga kemampuannya dalam mencairkan suasana serius setiap forum dadakan. Berbagai ekspresi memang disampaikan secara jenaka olehnya. Lima pemuda yang memasati pemandangan perempuan itu menyodorkan dirinya ke Pak Ghana dan menyuarakan:

“Pak Ghana beruntung ada perempuan yang segitu beratnya jauh-jauh darinya.” celoteh Mifta dengan sembarang.

“Boi, nantilah kita pikirkan hal macam begitu. Selesaikan dulu target mau jadi arsitek mu itu.” mengembalikan situasi kondusif untuk pasukan ilmu muda terhadap pemandangan orang dewasa yang sebaiknya tak dikonsumsi secara dini.

“Oh itu pasti! Gedung-gedung fenomenal itu sedang menunggu untuk dibangun oleh ku.” sambil menoleh ke arah Ganesha yang sedang semangat-semangatnya untuk mengejar Teknik Sipil yang terkenal angker ilmunya.

Kebulatan tekad lima pemuda itu menggerus amburadulnya mental pemuda-pemudi yang memang sudah mengenal dunia orang dewasa. Hal yang dianggap tidak normal dilakukan pemuda dari mulai: merokok, permainan peruntungan yang candu, mencoba minuman memabukkan, sampai zat adiktif yang berbahaya pun sudah mulai marak untuk dijadikan acuan kalau mereka sudah dewasa. Apalagi soal romansa orang dewasa yang coba mereka praktikkan secara praktis membuat semangat belajar dan menjejali otak dengan ilmu terapan, lanjutan, dan tingkatan. Misalkan diujikan otak mereka pun kepastian mendapat kursi perguruan tinggi pun melesat di angka kemungkinan yang paling mentok.

Tiga emas sudah ditangan. Ungkapan rasa syukur pastinya dihaturkan oleh mereka. Tuhan pun serasa menyeringai ke arah mereka yang memuliakan ilmu juga tak lupa melemparkan rasa syukur yang bertubi-tubi. Seringai yang ditandai dengan cerahnya langit malam Eropa yang biasanya tak berkesudahan menderukan semburan angin beserta rintisan salju sebesar keringat yang keluar saat dikejar anjing galak di rumah Bu Liane. Satu tim itu pernah mengalaminya. Niat untuk menyinggahi toko Koh Fut Cai, tempat jual alat-alat tulis dan fotocopy dokumen-dokumen, malah tunggang-langgang disergap Jobel, si anjing galak tak tahu sopan santun itu. Untungnya tak ada yang jadi korban dari pengejaran yang tak manusiawi itu.

Tetap saja, mereka masih menatap ke atas dan menyapu bersih dua laga sisa dengan cerahnya dua gigi geraham emas kepunyaan Bang Kurnia tergantung di leher. Lagu kebangsaan bertalu-talu sesaat setelah dibagikan bulatan emas asli terlekat di lengkungan pita bertuliskan ‘International Sains Olympic, Berlin'. Tak lupa nama mereka disebut sebagai perengkuh posisi wahid di tiga perhelatan masing-masing pelajaran yang menandakan tak ada yang bisa menghentikan ketiganya di dunia saat itu. 

Sombong jangan sering-sering, yang mesti dijaga adalah rasa syukur. 

Karena setelah ini mereka takkan lagi menjamah dengan mudah gala olimpiade sains. Regenerasi tetap akan diperlukan dan Pak Ghana tetap dipercaya sebagai pendamping olimpiade sains yang berbintang lima. Tapi, ini belum berakhir. Miftakhul Huda akan menuntaskan hari esok dengan hati lapang dan tanpa rasa gundah gulana seperti pemuda kemarin yang merepotkan satu tim. 

Mifta memang yang agak jenaka ketimbang yang lain. Asbab itu, ia sering berkomunikasi dengan pelawak sekaligus pembual di kelas unggul: Yanuarsah Aster. Anehnya, orang-orang seperti ini masih bisa bertahan dan tetap melego nilai-nilai kelas atas dari setiap tugas, ujian, dan penilaian sikap saat belajar. Yanu terkadang agak lamban dalam menelaah ilmu baru yang guru sadur dari ragam sumber. Tapi itu juga hanya bualan.

Malamnya, ia memanggimemanggiu untuk belajar bersama meski tak ada tugas mengganggu. Ia hanya terganggu dengan keadaan kelas yang tak kondusif. Di tempat tenang, ia lah rajanya. Sebenarnya, Yanu itu kreatif. Kreatif dalam menciptakan suasana bualan yang agak kompleks agar kelas juga tak segaring keripik kentang ala Mak Unah. Marsunah binti Maimun Tamzil mahir meracik tiap penganan yang ia jajakan. Juga primadona beliau, keripik kentang garing dengan butiran kecil bubuk balado dengan opsional saus keju ala rumahan.

Asbab menciptakan suasana anti garing meski Bu Mische sang guru pembunuh mental pengajar matematika mendatangi diri dan menerapkan gaya mengajar di kelas lain. Takkan mempan bagi beliau untuk mengintimidasi anak-anak polos pecinta ilmu itu. Ilmu pasti dibalas dengan ilmu. 

“Yanu, coba kamu jawab nomor satu halaman dua puluh lima di papan tulis!” pungkas Bu Mische penuh semangat usai menjelaskan bait demi bait rumus aljabar yang dihiasi lengkungan integral.

Lihat selengkapnya