Saatnya menunjukkan seberapa fenomenal otak yang hinggap di bawah ubun-ubun Andra. Juga seberapa tajam pula pedang ilmu yang sudah menusuk ribuan kasus yang menghadang di tingkatan dibawah ini sebelumnya. Ia juga sebenarnya tak ambil pusing menyoal dalam ambil bagian di olimpiade dari yang tingkatan hijau sampai yang paling pucuk saat ini dijajal pun ia tak ada risau. Kursi panas yang sebelumnya dipakai oleh korban pesakitan dari soal-soal angker nan horor itu tetap gagah menantang korban terakhir.
Hari Jum’at merupakan hari besar Islam setiap pekan. Mulianya hari itu selalu diwarnai berkah dan fadilah yang tak diduga-duga. Tak heran banyak insan berduyun-duyun menyebar ke pelosok kecil sudut yang jarang tersentuh untuk mengulurkan tangan meski dalam bentuk yang berbagai rupa. Banyak atau sedikit bukanlah persoalan, yang jelas manfaat bagi si penerima lah paling diutamakan. Sama-sama untung dalam berbagai wujud. Si pemberi dapat pahala, si penerima mendapat berkah juga hadiah. Adapula saat ufuk surya menyingkap ubun-ubun manusia di bumi, para lelaki dari mulai yang baru mengenal huruf sampai ke yang sudah berkali-kali khatam kitab Al-Qur'an.
Entah berkah apa yang bakal menghinggapi si fenomenal dengan segala aset intelektualnya untuk menumpas tuntas rintangan seratus soal dengan standar yang berbeda dari kemarin. Mungkin ini bukan lagi konsumsi untuk pelajar menengah atas, bisa jadi pula format yang dilombakan dirotasi menjadi lebih menantang?
Sampai duduk di kursi pun belum ada penyambutan tamu layaknya biasa digaungkan. Tak ada instruksi, tak ada panitia yang hilir mudik menyambangi tiap-tiap kursi untuk bagi-bagi kertas, apalagi murid-murid yang sibuk corat-coret mengisi identitas diri di kertas. Hanya kertas buram yang menyambut mereka di pintu masuk gedung.
Apa yang terjadi?
Apa olimpiade sudah selesai?
Bukankah di jadwal tertulis olimpiade Kalkulus akan dihantarkan hari ini?
Inilah berkah yang mungkin akan diberikan kepada Andra. Sungguh hal yang fenomenal untuk pemuda fenomenal. Apa pun yang terjadi, Andra tak akan mengendurkan serangan. Kendatipun diubah sedemikian rupa, orang-orang terpilih yang duduk disana takkan terperangkap dalam rasa gugup yang seketika menyergap.
Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit pun tak kunjung dimulai pula acara yang diharapkan. Andra melemparkan pandangan ke sekeliling. Reaksi bingung juga linglung mulai menyeruak di air muka para delegasi. Tak terlihat panitia yang tadi menyambut mereka di depan memberikan aba-aba atau instruksi untuk tenang. Hingga menit ke dua puluh akhirnya datang juga.
Namun, bukan mulainya acara itu yang terjadi, melainkan terdapat empat orang panitia dengan membawa ratusan piranti genggam tersimpan dalam kardus coklat seperti pembagian mie Koba dengan bungkus plastik mika waktu pengajian di ruang serbaguna dengan suasana buka puasa bersama. Apa yang terjadi?
“Don't touch this before ordered.” Nampak seratus delapan puluh derajat berbeda sewaktu disambut di pintu masuk tadi.
Jadi, perangkat itu tergeletak saja dihadapan mereka lemah tak berdaya meniduri meja sambung kursi anak kuliahan. Andra mulai berekspresi seakan tetap dengan pertanyaan, “Apa yang terjadi sebenarnya?”
Andra tak mau pusing sendiri, ia lantas melemparkan pandangan lagi ke arah sekitar dan mendapati seorang bule muda yang tak asing menoleh ke arahnya. Posisinya enam baris kursi darinya di arah Timur Laut. Andra mendapat barisan ke enam dari pintu keluar sehingga orang itu nampak lebih ke arah siluet saja. Meski siluet, ia tahu gaya rambut itu. Gaya yang melambai-lambai saat dihadapan mansion mewah milik Miss Zevanya. Itu si Paul McCartney ala Germania!
Tusukan mata yang tajam dengan niat mencari tahu siapa sebenarnya pemuda yang tingginya hanya sampai sebahunya itu. Soal postur memang sangat tidak menyenangkan bila keduanya disandingkan. Tapi, keuntungan yang didapat dari Andra adalah berkah tingginya ilmu dan pengetahuan baik eksakta maupun umum. Seringnya mengasah logika dilingkungan yang belum mencapai kata cerdas, membuatnya memiliki banyak bahan untuk melatih pisau logikanya.
Alhasil, ekosistemnya nampak suram akan hidup bersosial. Makanya, momen ia mengajukan diri sebagai ketua kelas yang mengejutkan banyak pihak itu merupakan momen langka yang sampai-sampai menegakkan raga Ayu yang tegas dan lugas, membelalakkan mata Budi si tukang jelajah psikologi orang, juga membuat mulut Pak Bambang serasa mengeja huruf 'A'. Pak Bambang tak ingin ketinggalan setiap kabar dari kelas unggulan melalui wali murid, guru, sampai mata-mata kelas yang melakukan spionase antara kedua pihak. Utusan itulah dinamakan ketua kelas.
Josua Geirringer merupakan anak yang terpandang di sekolahnya. Ia cakap, tegas, selalu ingin jadi teratas, dan berkeinginan untuk menjadi bebas tanpa menggunakan nama orang tua yang berkelas. Ia adalah satu diantara banyak pemuda yang punya fulus tak terbatas, tapi masih tetap memilih hidup yang keras. Menjadi supir taksi adalah pilihannya. Pernah ia merasakan lelah dan letih mengitari sebagian kecil kota Berlin sebagai loper koran. Tageszeitung atau sekiranya dinamakan koran harian menjadi objek yang ia banggakan saat mengayuh kebut sepeda onthel dari hasil menabung uang jajannya. Josua tak meminta banyak, cukup dengan menyisihkan sisa transaksi uang sekolah, lalu dapat lah sepeda onthel ala Jerman yang antik dan berat.
Tiga tahun tepatnya, ayahnya masih belum mampu menerima anaknya hidup keras dengan membanting tulang punggung yang sama kekarnya dengan otot calves sampai hamstring. Apalagi kerjanya itu tak mengganggu pendidikan. Setelah rampung mengantar tiga puluh lembar koran harian, ia langsung tembak lurus menuju sekolah dengan keringat tertinggal di badan. Terpercik rasa kasihan dengan perjuangan anaknya, si ayah takkan membiarkan itu berlarut-larut. Sebagai penulis terkenal yang namanya melanglang buana di seluruh jagat literasi, ayahnya kemudian membeli perusahaan koran itu dan menghadiahkannya kepada si tukang koran yang pantang menyerah itu.
Namun, yang diinginkan Josua hanyalah menikmati hasil dari beribu kali menyeka keringat akibat pontang-panting menyusuri alamat pelanggan yang benar, tanpa bantuan orang tuanya. Pemandangan seperti itu sangatlah langka di tanah Jerman. Ketika masih bisa hedon dengan harta orang tua, maka nikmatilah.
Begitulah saat ia membuka pandangannya pada Andra. Selain ia terintimidasi dengan kejeniusan pemuda unik dengan tambahan bonus alis tebal itu, Josua juga merasa ia sedang berkaca pada diri sendiri. Orang itu lebih dari sekedar lawan. Orang itu adalah diri sendiri.
Suara perempuan pengumuman memecahkan pandangan Josua yang lekat menyatakan perang pada cerminan dirinya sendiri itu. Sembari menanti gerombolan kertas soal yang menjemukan, orang-orang yang duduk di podium bawah diharuskan ikut uji coba hitungan IQ.
Pak Ghana sontak kaget dan spontan berdiri guna menyampaikan aspirasinya kepada panitia tentang hal itu. Menyadari gregetnya Pak Ghana akan tes IQ yang nampak mendiskreditkan tim Zamrud KaSa itu, Zevanya dengan cekatan menahan guru sambung yang serasa guru resmi itu, agar tak membuat merah mukanya sendiri.
Berulang kali terjadi tarik-menarik antara Zevanya dan Pak Ghana. Raut beliau sungguh berbeda dan nampak tak santai sama sekali. Mati-matian Zevanya menahan dengan tatapan sakit akibat paksaan Pak Ghana yang makin menjadi-jadi.
“Zev, kamu tak usah ikut campur! Aku tak terima mereka mendiskreditkan kami!” merasa terinjak-injak, bisa saja Pak Ghana langsung lompat dari balkon atas untuk interupsi sesuatu yang tidak wajar itu.
“Tapi Ghana, biarkan Andra yang buktikan itu! Kalau seperti ini, bakal mempermalukan dirimu sendiri!” orang-orang disekitar mereka mulai menarik atensi ke arah dua sejoli yang sedang bersitegang.
“Kamu takkan paham karena kamu bukan golongan kami!!” perempuan yang sedang latihan untuk meningkatkan efisiensi emosi calon suaminya itu ditunjuk-tunjuk secara bertubi-tubi.
“Meski begitu, aku tetap ingin jadi sepertimu, Ghana! Tenanglah, biarkan Andra yang buktikan perjuangan kalian tak sia-sia!” pernyataan itu takkan mulai meregangkan otot-otot yang tadi tegang perlahan melunak.
Didudukkannya Pak Ghana kembali seperti semula dengan lembut seakan mendudukkan orang yang lanjut usia. Tanpa cacat perempuan berperawakan model itu rampung dalam menenangkan pria yang akan ia dampingi seumur hidup nanti. Bila Pak Ghana menoleh kearahnya dan mulai menumpahkan kata-kata, pastilah Zevanya sudah memenangkan hatinya.
Dan…. Benar saja.
“Danke, Zev. Kalau bukan karena kamu….” Sejurus setelah menoleh ke arah Zevanya, Pak Ghana tersadar sudah menarik perhatian keramaian di sekitar.
Zevanya menambahkan beban berat untuk emosi Pak Ghana seraya menimpa tangan Pak Ghana yang masih sedikit gemetar diikuti kata-kata:
“Aku sudah satu kata untuk ketetapanku, yakni mendampingimu sampai umur ku habis. Jadi, jangan pernah ragukan lagi komitmen ku, ya!” bukan hanya mendekapkan tangan Pak Ghana dengan telapaknya, tapi juga Zevanya menyetrum tatapan santai Pak Ghana dengan keseriusannya.
Sedikit lelehan kaca terpancar di pelupuk Pak Ghana. Seharusnya momen ini terbalik dengan keyakinan Pak Ghana ditumpukkan ke komitmen mereka berdua. Keagresifan Zevanya sangat kompleks. Ia tahu kapan harus serius dan bisa sedikit berleha-leha. Dan dengan kata-kata itu, seluruh lubang keraguan terhadap relasi mereka tertutup rapat dengan tambal anti peluru godaan. Lagipula Pak Ghana tak paham menyoal buru-memburu cinta.
Terpejam dengan kata-kata itu dan menghayati sedalam mungkin. Lalu, bangkit dan menarik napas panjang demi berkata: