Sebelum angkat kaki dari daratan pemuja ilmu pengetahuan, Andra dan Pak Ghana bangat untuk menyinggahi kota kecil di pinggiran Jerman yang hampir menjorok dekat perbatasan Belanda dan Belgia. Jikalau kenal beliau, pastilah tahu kota itu. Kota antik dengan deretan kastel bergaya Baroque itu sangat memiliki makna dalam bagi orang Indonesia terkhusus yang menjerumuskan dirinya di altar pemujaan ilmu pengetahuan. Jadi tempat kediaman seorang yang tangguh dan sangat dikagumi bahkan sampai menjadi preferensi total pelaku ilmu pengetahuan. Dan jikalau mendengar kata pesawat, pasti langsung terbersit dipikiran.
Kota Aachen.
Pahlawan hebat yang berbakat di bidang ilmu dan namanya sudah jauh melanglang buana sampai seantero Jerman. Eyang Baharuddin Jusuf Habibie pernah pontang-panting hidup dari masa bujang sampai melepas masa lajang di kota pelajar Jerman ini. Habibie muda hidup tak kurang dari dua belas tahun di kota spa yang bergaya megah dan mewah dengan konsep mendetil di segala sisi. Sungguh, barisan bangunan yang ditinggali penduduk masih kental dengan gaya kerajaan kuno. Dinding-dindingnya ditempeli motif list kayu melintang dari ujung ke ujung. Juga garis kayu itu melintang bersilang-silang menjamah deretan jendela yang bercokol mewah.
Ikut juga jalanan di Aachen yang tak melulu aspal, ada pula konblok kecil-kecil namun rata di setiap beranda bangunan kuno untuk mengalasi para pejalan kaki yang beragam asalnya. Kadang hujan rintik manja menimpali konblok mini itu dan mempercantik suasana malam hari dari beberapa kafe yang memajang lampu-lampu teduh berwarna jingga. Indah bukan kepalang pesona itu. Pantas saja, Eyang betah menghidupi diri di daratan yang bisa jadi menusukkan jarum halus bersuhu dingin saat penghujung tahun merambah.
Begitulah kiranya Pak Ghana meyakinkan Andra untuk memenangkan suara agar bisa berkunjung ke sana, meski dengan selisih enam jam delapan belas menit harus menikmati pemandangan jalanan lintas Jerman Timur ke Jerman Barat. Zevanya tahu, menghalanginya untuk hal baik seperti ini takkan menemui kata sepakat bagi sang petualang ilmu. Namun, kali ini ia tak bisa lari lagi dari urusan perusahaan warisan ayahnya. Mau tak mau, suka tak suka, ia harus absen dari mendampingi Pak Ghana ke Aachen.
“Tapi…. Tapi kamu nanti….” penuh manja, perempuan yang bakal diboyong ke Indonesia, namun tak bisa tinggalkan bisnis warisan orang tuanya.
“Gampang, aku sudah kuasai moda transportasi dari sana ke sini.” pembelaannya yang nekat seharusnya menenangkan hati sang calon pendamping.
“Itu enam jam, loh! Lagipula besok mereka harus ke bandara jam sembilan pagi! Kamu yakin, Bips?!” memang, ia tak bisa menutupi kepanikan akan kepergian Bips, panggilan mesra baru Pak Ghana.
“Ya sudah begini saja, kalau kami tak kembali ke sini sebelum jam delapan besok, kamu langsung jemput kami, Hips.” menawarkan suatu alternatif bagi ide yang nekat tergolong cerdas.
“Kamu mau ke sana seharian?”
“Andra hilang semalam juga aku ikut panik, Bips. Haduuh….” ya, mereka sempat kehilangan bocah fenomenal itu dari sore sampai tengah malam. Ia hanya terkekeh kecil sembari menikmati kepanikan Pak Ghana dan Zevanya.
***
Jam 03.00 p.m., mereka sudah nyaman lagi di sofa empuk sajian mansion mewah setengah kastil ala Baroque di ruang tengah Zevanya. Mereka sudah terbiasa hawa dingin Jerman yang sedikit-sedikit menyusupi raga. Saking terbiasanya, mereka malah berkeringat di siang hari versi Jerman. Siang hari yang bukan terasa siang bagi orang tropis. Siangnya mereka sungguh menyengat. Kemampuan menyengat siang tropis mampu membuat aroma masam dari ban mobil yang berjejer, menusuk hidung secara anarkis.
Andra bersiap untuk undangan misterius yang datang kepadanya sesaat setelah mengikhlaskan mahkotanya sebagai raja Kalkulus internasional diberikan secara sukarela pada rival berat yang baru seumur jagung masanya. Kukuh terpatri di wajahnya untuk bisa kembalikan suasana magis seperti malam kapas penuh kilau kemarin. Karena mereka tak langsung menyambangi hotel dan harus menyinggahi mansion mewah terlebih dahulu.
Kembali, Ayu menginisiasi dialog daring untuk menghentikan rasa penasaran akan hasil tanggukan medali hari ini.
“Dan, mana medali emas kamu?” Ayu sungguh menaruh kepercayaan yang luar biasa kepada pemuda fenomenal yang garis lurusnya telah bengkok.
“Oh iya, aku kasih ke orang yang berhak.” pernyataan yang seenaknya itu pasti disambut mata terbelalak oleh orang normal. Meskipun Ayu juga diatas normal.
“Haah!? Kenapa bisa begitu?!”
“Aku cuma tak mau buat suasana jadi panas soalnya aku dengan orang itu sama-sama tak bisa kalah.” masih belum menemukan titik terang apa yang ingin disampaikan.
“Sebentar, aku masih bingung. Aku yakin seratus persen kamu pasti dapat medali emas di Kalkulus lanjutan itu. Tapi, ada juga yang tak bisa dikalahkan begitu?”
“Iya, betul. Di atas langit masih ada langit…” perumusan umpama yang tepat mengena biar simpel dan frontal.
“Hmm…. Meski sudah dihadap, ada yang bisa buat mundur?”
“…. Yang sama….” ternyata perumpamaaan itu belum selesai. Kiranya tak jadi menuntut jawaban dari pertanyaannya, gadis itu memilih topik baru.
“Dan, kata-kata yang kemarin….” topik yang sangat besar bagi Andra. Percakapan itu serasa menimpa batinnya yang terbiasa menghunus pisau logika.
“Hah? Iya apa? Apa benar?” panik meruntuhkan mental yang rapih tersusun semenjak sok keren dalam mengikhlaskan kepergian sang medali.
“Hahaha bukan itu, Dan... Wah aku jadi teringat lagi!” niat mau menyingkirkan rasa malu yang diulurkan sejauh pemandangan Pulau Bangka dari Jerman. Tapi, masih ditarik oleh dirinya sendiri. Amsyong.
“Bukan, ya, itu…. Begini…. Soal perang sandiwara di acara pentas seni akhir semester nanti itu menurut kamu bagaimana, Dan??” sambil menutup malu, Boneka langsung kembali ke koridor yang memuat masalah lebih besar dibanding rasa malunya.
“Nah itu…. Dialog yang baik terbuat dari perasaan yang manis…. Lah!” masih saja mengacaukan suasana yang sudah bagus di susun lagi oleh Ayu.
“Iya! Perasaan manis! Jadi berdialog bisa lebih enak! Eh, apa-apaan ini!? Hahahaha….” keduanya menyambut datangnya rasa canggung yang tak tertampung itu dengan tawa canda menyenangkan.
“Bon, ehmm…. Terkait kata-kata terakhirku kemarin itu, fakta, loh.” sungguh suatu keberanian menyampaikan hal ini pada gadis idaman. Apalagi disampaikan langsung nantinya.
“Iya, Dan! Itu…. Aku…. Hanya…. Itu….” sekarang terbalik, malah Boneka yang diserang dan berusaha kembali ke topik pembicaraan awal.
“Ehem! Hahaha.” niat menyindir ke Andra yang sudah rela mau berdehem untuk menyelamatkan dari godaan psikotes Budi.
Asyik bercanda tak lantas membuat Andra terbuai akan lalainya undangan dari si misterius. Namun, ia juga tak mau melewatkan kesempatan emas berbincang leluasa dengan si pemberi boneka waktu melepas kepergian kontingen Garuda di Olimpiade Sains Internasional. Jadi, ia coba menyampaikan suatu pemandangan yang ia lihat dan jarang dijumpai di tempatnya. Dan ia berusaha keras.
“Bon, aku ada undangan!” entah apa yang merasukinya. Sampai-sampai sudah meracau ke sana sini pemilihan kata-katanya.
“Oh! Siapa yang nikah??!!" …sudahlah.
“Nikah??!! Bukan!! Ini loh, itu…. Aku dua hari lalu nampak orang lagi sulap. Sulap tahu, kan?!"
“Ya! Ya!! Aku tahu!! Yang ada tips and trick itu, 'kan?!"
Perbincangan yang malang melintang jauh merantau dari koridor tujuannya. Inilah kisah dua muda-mudi yang belum berpengalaman dalam menyusun kata-kata saat dekat dengan orang idamannya. Jangankan berdialog, pola gestur pun sudah tak karuan bentuknya.
“Nah, di sulap itu, aku tangkap ilmu baru! Tentang terapi psikologi sosial yang jauh beda levelnya dengan si Budi culun itu!”
“Hahaha kamu juga culun, Dan!” kembali mereka melakukan lingkaran tertawa, berbincang, dan malu-malu seiring dentang jam yang terus menggerus waktu dengan menandakan bahwa semakin dekat malam hari di Berlin.
“Oh iya, Dan. Tadi kamu ada acara, kan? Ya sudah, nanti saja cerita soal perang sandiwara aku dan Indri. Have fun, ya!” ini bentuk pengertian Ayu yang tak mau mengekang Andra terlalu jauh. Ya memang mereka belum punya hubungan resmi. Jadi, masih ada jalan bagi yang abnormal lain untuk merapat.
Dan…. Ihwal itu terjadi. Itulah sebabnya Andra masih berkutat di depan hotel dengan gemeretak gigi yang masih hidup.
Triiing!
Ia tak menyangka dan tak pernah sama sekali menyangka ini bakal terjadi. Meskipun mendapat mimpi digigit ular atau dikejar-kejar anjing sampai tersengal-sengal waktu sadarnya, takkan pernah terbersit pikiran kalau ini bakal terjadi.
Indri menelpon (lagi).
Dunia sudah terbalik? Atau kepalanya terbentur sesuatu?
Kenapa ini?